Ketika kecil, sekitar tahun 1990-an, di daerah
saya tepatnya di Dukuh Turus, Desa Purwosari, Magetan, banyak ditemui pengrajin
senik. Senik adalah sejenis kerajinan dari bambu, yang biasanya digunakan
sebagai wadah sesuatu. Seperti bakul
namun ukurannya besar. Berdiameter 30 cm hingga 40 cm. Berkat kerajinan inilah
desa saya (ketika itu) banyak didatangi distributor atau pengepul senik. Bahkan para pengrajin dan
distributor tersebut hampir memenuhi area pasar tradisonal di desa saya. Saat
itu pengrajin-pengrajin senik setidaknya
bisa menjadikan karya mereka sebagai tumpuan untuk mengais pundi-pundi rupiah.
Akan tetapi, kini cerita tinggalah cerita.
Semenjak pasar tradisional Purwosari diperbaiki, lahan jual beli mereka
tergusur oleh bangunan-bangunan pertokoan. Sesekali masih ada pengrajin dan
pengepul yang mewarnai pasar. Namun seiring bertambahnya waktu tiada lagi
pengrajin dan pengepul yang tawar-menawar di pasar desa Purwosari.
Transaksi gaiblah yang dilakoni pengrajin senik hingga saat ini. Saya menyebutnya
sebagai transaksi gaib, karena transaksi ini muncul dan hilang secara
tiba-tiba. Tempatnya tak lagi di area pasar. Namun di perempatan kecil utara
pasar. Tepat di sebelah utara rumah saya. Biasanya mereka mulai bernegosiasi
pukul 04.00 WIB dan menyelesaikannya pada pukul 06.30 WIB. Pasar kecil-kecilan
nan nyentrik ini sebetulnya tidak begitu mendatangkan keuntungan bagi para
pengrajin. Pertimbangan tradisi dan untuk mendulang tambahan uang menjadi
pendorong eksisnya prosesi ini.
Pengrajin senik yang tidak sebanyak dulu
membuat pengepul kelabakan. Pengrajin-pengrajin tersebut lebih memilih
pekerjaan lain yang menurut mereka pendapatannya sesuai. Alhasil, kini
pengrajin senik yang ada di desa saya
tinggal orang-orang lansia yang tenaganya sudah sangat minim. Jika ini
dibiarkan maka tidak ada regenerasi dan senik
akan punah. Padahal menurut keterangan Bapak Saimin, salah satu pengrajin senik yang pernah merantau ke Lampung.
Di Lampung peminat senik sangat luar
biasa. “Kalau di sini senik hanya Rp.
8000,00-Rp. 10.000,00 di sana harganya bisa Rp. 25.000,00 kadang juga lebih”,
terang beliau.
Dari keterangan tersebut, sebetulnya senik masih menyimpan potensi untuk
dipasarkan. Dengan metode pemasaran yang tertata, mungkin senik akan kembali laris seperti sedia kala. Pengrajin-pengrajin
tersebut bisa menurunkan ilmu membuat senik
pada anak cucunya. Sehingga minimal, kerajinan asli Indonesia seperti ini dapat
lestari sekaligus menyokong perekonomian masyarakat.
kog menakutkan gitu wid???
BalasHapusjadi, apakah anda tertarik untuk melestarikannya?
BalasHapus@guntur; ah nggak ah... apanya yang seram?
BalasHapus@ricanaza; sangat tertarik sebetulnya... tapi SDM nya sangat terbatas...
Kui koyok mbah wiji kae ?
BalasHapus