This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 24 Desember 2011

Ujian Nasional, Masihkah Perlu Diselenggarakan?



            Enam belas tahun mengalokasikan waktu saya di dunia pendidikan, rasanya cukup layak jika saya ini menamakan diri saya sebagai insan pendidikan. Saya masuk Taman Kanak-kanak pada usia empat tahun kemudian masuk SD sekitar 6,5 tahun, hingga saat ini saya kuliah di Jurusan Sastra Indonesia semester lima dengan usia 20 tahun. Dalam rentang waktu sekian banyak tentu banyak pula hal yang saya alami. Dari hal yang menyenangkan, menyebalkan hingga hal yang menyesatkan.
            Ketika kita  bersekolah, sudah barang tentu ujian menjadi hal yang terpenting. Mengapa demikian? Karena menurut saya Ujian adalah proses eksekusi dari sistem persekolahan. Mau kita sepinter apapun sehari-hari, sekritis apapun, serajin apapun jika tidak lulus ujian itu sama saja bohong. Jadi bisa saya katakana esensi dari sekolah adalah ujian, meski hal ini sering ditentang oleh orang, tapi itulah yang ada.
            Masih membekas ketika saya SD, bagaimana guru-guru dan orangtua sedemikian khawatir dengan prosesi ujian anaknya. Berbagai bekal, baik pematangan materi ujian dan mental dilakukan agar kita[murid] bisa lancar saat menhadapi Ujian Nasional. Anak kelas 6 seolah seperti anak emas. Jam tambahan pun juga kita dapat, untuk mendapatkan bekal yang cukup. Padahal yang saya rasakan saat itu adalah bosan tingkat tower. Bagaimana tidak, saya masuk seklolah pukul tujuh pagi, kemudian pulang pukul setengah satu, istirahat setengah jam lalu mulai belajar lagi hingga pukul tiga sore. Dan budaya seperti ini saya dapat sampai SMA. Tiap Ujian Nasional digelar ritme yang hamper sama selalu saya dapatkan. Dan dari semua perjuangan hebat itu, di belahan dunia pendidikan nan jauh di atas sana Indonesia masih juga menempati posisi ngesot alias peringkat bawah.
            Kita dituntut mati-matian untuk menigkatkan NUN dengan berbagai upaya termasuk cara yang kurang terpuji. Sudah bukan rahasia jika kecurangan dalam ujian sudah jadi budaya yang mungkin jika cara pandang kita terhadap pendidikan tidak dirubah akan terus terjadi. Saya rasa bukan hal baru contekan itu menjadi pemandangan yang lumrah saat ujian. Jika saya ditanya, kenapa saya mencontek, akan saya jawab karena kalau saya tidak nyontek saya takut tidak mencapai standar minimum dan tidak lulus ujian. Itulah cara pandang seorang siswa karena dintutut dan dihimpit oleh keadaan. Disisi lain kita dituntut untuk jujur dalam ujian tetapi di belahan dunia lain standar yang tinggi dan nama baik terus menjadi proiritas. Jika kita semua siswa benar-benar jujur ketika ujian, saya yakin menteri pendidikan akan pusing tujuh keliling saat hasil ujian keluar.
            Saya beberapa kali menghadapi Ujian Nasional dan anehnya saya lebih merasakan kompetisi yang lebih murni ketika ulangan harian biasa atau kuis dibanding Ujian Nasional. Sudah bukan hal baru jika di belakang banyak yang bilang kalau Ujian Nasional itu hanya formalitas, faktor penentu nilainya bukan lagi kecanggihan otak, tapi faktor keberuntungan. Lalu kenapa Ujian Nasional itu masih diselenggarakan?
            Perbedaan mencolok saya rasakan saat saya kuliah. Telah kita ketahui bersama di kurikulum perkuliahan tidak ada yang namanya Ujian Nasional. Adanya Ujian Akhir. Dengan sistem kredit semester, tentu sangat berbeda dengan kurikulum SD, SMP dan SMA. Jangan heran kalau mahasiswa tidak begitu lebay jika tidak lulus ujian atau nilainya ujiannya tidak bagus. Karena Ujian digelar step demi step sessuai mata kuliah. Tidak pukul rata seperti prosesi Ujian Sekolah. Nilai yang mahasiswa dapat pun dipertimbangkan dari berbagai sisi. Tidak dari sisi Ujian Akhir saja. Jadi setelah saya mahasiswa, ternyata pencapaian kelulusan itu tidak begitu menyeramkan. Sistem pendidikannya lebih mengerucut dan tentunya lebih membuat kita fokus. Sambil merenungkan hal-hal yang kurang jelas, saya sempat berpikir, betapa enaknya jika Sekolah disistem sks seperti ini sejak dulu? Betapa enaknya jika cara pikir kita terhadap sekolah itu dirubah. Kelulusan tak harus jadi tuntutan. Yang tidak lulus bukan berarti bodoh tetapi karena belum waktunya. Bukankah lulus karena curang itu adalah lulus yang dipaksakan? Semoga ini bisa jadi renungan.

Senin, 19 Desember 2011

Emban Cinde Emban Ciladan *Pilih Kasih





Emban Cinde Emban Ciladan, merupakan salah satu dari sekian banyak pepatah Jawa. Pepatah ini dalam bahasa sehari-sehari bisa diartikan tidak adil atau pilih kasih. Sekilas mungkin menimbulkan tanda tanya besar mengapa saya menuliskan pepatah ini.
Hal ini bermula ketika saya mengajari Yuli, salah satu siswa kelas 2 SD yang kebetulan dia adalah tetangga saya. Saat itu Yuli meminta saya untuk mengajarinya Matematika dan IPA. Daripada menganggur apa salahnya membantu orang lain, pikir saya saat itu. Saya kaget ketika Yuli menujukkan buku pekerjaannya yang awut-awutan, banyak coretan di sana-sini. Namun hal itu saya maklumi, karena Yuli masih kecil.
Kemudian sambil saya ajari, saya mencoba mengamati pola berpikir bocah tersebut. Sesekali saya bertanya, bermaksud memberi impuls pada otaknya agar dia tidak seperti seekor kuda yang saya kusiri. Namun anehnya tidak satu impulspun dia mengerti, alias not responding. Kemudian saya mengambil cara lain, saya terangkan maksut buku sedetail mungkin, sejelas-jelasnya pada Yuli sampai saya kasih beberapa contoh soal. Saya menyuruh Yuli untuk mengerjakan soal dari buku, Alhamdulillah dia bisa mengerjakan ke lima soal meski masih sesekali dia bertanya.
Sambil menunggu Yuli menyelesaikan soal, saya iseng-iseng saja membuka satu per satu buku dalam tasnya. Hingga saya temukan tulisan Yuli yang menurut saya agak menggelitik. Dalam tulisan tersebut Yuli sedang asyik membicarakan gurunya. Secara singkat dia mengekspresikan kekesalannya terhadap sang Guru yang selalu menunjuk temannya terlebih dahulu ketimbang dirinya.
Alhasil, sayapun ikut penasaran. Setelah Yuli selesai mengerjakan soal, sambil mengoreksi saya akhirnya bertanya tentang tulisan yang saya temukan di halaman paling belakang buku pekerjaan matematikanya. Setelah kami mengobrol, saya dapati banyak hal yang melatarbelakangi ditulisnya ungkapan tentang Guru matematikanya itu.
Menurut keterangan Yuli, dia kecewa dengan Gurunya karena selalu mengabaikan acungan tangannya saat ingin mengerjakan soal di papan tulis. Guru tersebut selalu memilih temannya yang lebih pintar, atau temannya lagi yang kata Yuli masih kerabat dekat sang Guru. Giliran mereka tidak ditunjuk, soal yang ditanyakan tidak bisa dikerjakan oleh Yuli. “Pokok’e mbak giliran aku iso no mesthi sing ditunjuk Rendy, nek gak ngono kancaku seng juara. Giliran cah pinter-pinter gak maju aku pas gak iso nggarap. Pilih kasih jan to mbak”, papar Yuli.
Ketika itu saya hanya diam, mendengarkan Yuli bercerita tentang keluh kesahnya mengenai guru tersebut. Saat dia sudah pulang sambil merenung, pernyataan Yuli mengingatkan pada pengalaman saya saat bersekolah dulu. Saya pernah mengalami apa yang anak itu alami saat ini. Sedikit banyak saya bisa merasakannya.
Bertahun-tahun menjadi anak sekolahan, membuat saya bertemu dengan berbagai jenis guru yang berbeda-beda. Baik dari segi mengajar, bercanda hingga berinteraksi semuanya sangat bervariasi. Ada yang killer, gokil, menggebu-gebu, galak, smart, sampai yang datar-datar saja pernah saya temui. Beberapa ada yang saya sukai dan ada yang tidak saya sukai. Ada yang bikin saya bete ada yang bikin saya ketagihan diajar beliau. Tapi mau gimanapun beliau adalah guru dan saya murid. Mau tidak mau harus saya hormati tanpa perlu banyak protes.
Pahit memang ketika ada seorang guru yang pilih kasih. Di mana dalam kelas ada yang namanya anak emas dan anak besi biasa. Bagi mereka yang berpotensi menjadi anak emas, (kriteria umum: pinter, kalau cewek ya cantik, kalau cowok ya ganteng, punya sisi PD yang sedikit over dan perayu yang ulung). Hal itu tidak begitu jadi kendala. Akan tetapi bagi anak besi biasa, punya guru pilih kasih itu ibarat kiamat yang datang dadakan. Karier sebagai murid pasti tidak semulus yang diharapkan. Bagaimana mau mulus, jika yang ditunjuk ke depan itu-itu saja. Mau tunjuk tangan juga keburu mati PD duluan. Yah akhirnya jadi pengikut si Yuli deh.
Saya juga kurang begitu paham, apa sih untungnya seorang guru kalau pilih kasih? Dipikir-pikir sama sekali tidak ada keuntungan yang bonafide. Menurut saya sikap pilih kasih itu sikap yang jauh dari kata profesional. Bukankah murid itu harusnya dipandang sama. Semua murid yang duduk manis di dalam kelas itu butuh asupan yang sama, entah seperti apa treathmentnya. Mereka butuhperhatian yang seimbang, yang tidak berat sebelah. Saya rasa semua guru pasti sudah terlatih semasa kuliah untuk memanage kelas dan memahami karakter setiap anak didiknya. Perbedaan diantara mereka harusnya bisa teratasi, sehingga mereka tetap merasakan yang namanya keadilan.
Nah, begitu sedikit hal yang ingin saya bagi. Sebetunya problem seperti ini tidak hanya saya temui dalam hubungan antara guru dengan murid. Sikap pilih kasih banyak terjadi di berbagai interaksi. Orangtua ke anak, seseorang ke teman-temannya dan banyak lagi. Sikap tidak adil sebetulnya menimbulkan kecemburuan sosial yang sangat besar. Untuk itu saya dapat menyimpulkan bahwa adil itu lebih dari sikap. Adil adalah sebuah tuntutan.