Senin, 06 Februari 2012

Penelusuran Telat tentang Minggu Pagi di Victoria Park [Sebuah Apresiasi]



      
            Minggu Pagi di Victoria Park  merupakan film yang dibintangi dan disutradarai langsung oleh Lola Amaria. Sebetulnya bukan telat lagi saya bikin ulasan soal film ini, telat banget malahan. Soalnya film ini diproduksi sekitar bulan Juni 2010 lalu, kalau dihitung sudah satu setengah tahun. Saya baru kepikiran bikin ulasan, setelah tujuh kali nonton film berlatar Hongkong-Indonesia ini.
            Kisah dramatis antara dua bersaudara yaitu Mayang[Lola Amaria] dan Sekar[Titi Sjuman] membuat saya terenyuh tiap kali menontonnya. Mungkin sebagian dari kalian sudah ada yang tahu. Dalam film berdurasi 100 menit tersebut, Mayang dikisahkan mempunyai adik, yakni Sekar, yang bekerja sebagai TKW di Hongkong. Karena Sekar lama tidak pulang ke Indonesia, Mayang akhirnya diberi mandat oleh sang Ayah untuk menyusul Sekar di sana. Padahal Mayang sama sekali tidak ingin menjadi TKW. Namun karena paksaan dari Ayahnya, Mayang tak kuasa mempertahankan hak untuk memilih jalan hidup. Terlebih Sekar adalah anak kesayangan dari sang Ayah. Hal tersebut membuat Ayah mereka makin getol memaksa Mayang untuk segera menyusul Sekar.
            Melalui keberangkatan Mayang itulah semua hal besar dalam film ini saya dapatkan. Jika masih ada yang mengingat, saya pernah memposting status tentang film yang sudah mengusung satu penghargaan sebagai film dengan penyuntingan terbaik di ajang FFI 2010 ini. Tidak kurang tidak lebih seperti inilah postingan saya, ; Minggu Pagi di Victoria Park. #betapa berharganya rejeki yg udh kita dapat, meski itu cuma sesuap nasi. Berharganya sebuah kehidupan meski itu pahit. Berharganya sebuah perjuangan walaupun sulit. Berharganya sebuah keluarga meski tidak harmonis. Berharganya secuil perhatian meskipun tidak digubris.”. Status ini saya buat di facebook pada tanggal 27 November 2011 lalu. Sesuai dengan apa yang saya tuliskan, beberapa hal terbut di atas adalah pembelajaran yang saya dapat dari film bersinematografi indah garapan Yadi Sugandi tersebut.
            Poin pertama, Berharganya rejeki yang sudah kita dapat meski itu cuma sesuap nasi. Mungkin sebagian dari kita adalah orang-orang berkehidupan super beruntung, yang tidak perlu bekerja keras untuk makan dan hidup layak. Tapi tidak demikian bagi TKW yang menjadi sorotan utama dalam film ini. Di Hongkong sana, mereka bekerja keras menjadi jongos orang-orang kaya, untuk makan, untuk memperoleh gaji yang di Indonesia mengalahkan gaji Pegawai Negeri Sipil. Mereka rela diperbudak, untuk apa? Agar taraf kehidupan mereka di kampung mengalami peningkatan. Lebih tragis lagi jika TKW tersebut bernasib seperti Sekar. Dia terjerat hutang dengan pihak perkreditan di sana. Paspornya disita. Kalau sudah begitu dia akan menyandang sebutan TKW nonlegal yang menjadi buron. Otomatis, hal utama yang dialaminya adalah kesulitan mencari pekerjaan. Dia ditolak kerja di sana-sini meskipun hanya jadi pembantu. Sekar harus menyembunyikan identitasnya agar mendapatkan pekerjaan part time yang tidak perlu prosedur kerja berbelit-belit. Dari cuci piring sampai nemenin ABG tua di bar dilakoninnya cuma untuk bertahan hidup di negara orang. Semua dilakoni hanya untuk sesuap nasi.
            Poin ke dua, Berharganya sebuah kehidupan meski itu pahit. Kehidupan Sekar, dalam film tersebut digambarkan sedemikian pahitnya. Terlilit hutang di negeri orang, menjadi pengasuh orang jompo, pengasuh hewan, hingga menjadi seorang pelacur, dilakoninya untuk bertahan hidup. Dari sini dapat saya tarik benang merah, sepahit apapun hidupnya, Sekar tetap menganggap hidupnya berarti, untuk itu dia bertahan.
            Poin ke tiga, Berharganya sebuah perjuangan walaupun sulit. Menyoroti tokoh Mayang dalam film tersebut, selalu mengingatkan saya pada sebuah perjuangan. Perjuangan yang luas. Dia berjuang melawan egonya sendiri. Dia berjuang untuk melakukan apa yang tidak diinginkannya, yakni menjadi TKW. Perjuangan sulit seorang kakak untuk memaksa dirinya menyayangi adik sekaligus rival yang selalu mengalahkannya dalam hal apapun. Di sisi lain, Sekar begitu gigih berjuang demi kelangsungan hidupnya di Hongkong. Seperti yang telah saya katakan pada poin dua. Perjuangan Sekar begitu sulit.
            Poin ke empat, Berharganya sebuah keluarga meski tidak harmonis. Sekar, Mayang dan keluarganya bukanlah keluarga yang harmonis. Ayah mereka selalu membandingkan Mayang dengan Sekar. Sekar yang pernah menuai sukses sebagai TKW dianggap lebih mampu memberinya kebahagiaan, dibanding Mayang yang hanya menjadi buruh tani di kampung. Hal inilah yang membuat hubungan Mayang dengan Sekar menjadi sangat renggang. Namun, kedatangan Mayang atas paksaan Ayahnya ke Hongkong, merupakan tindakan yang mengubah keadaan itu. Untuk pertama kalinya Mayang berkorban demi adik yang dia sayangi sekaligus dia benci. Di sinilah dapat saya petik hikmah, apapun keadaan keluarga, ikatan darah tak bisa dielakkan. Dan ikatan darah itu adalah hal yang berharga sepanjang masa.
            Poin ke lima, Berharganya secuil perhatian meskipun tidak digubris. Sepanjang kisah Mayang dan Sekar, sentuhan gelora asmara adalah bumbu yang makin membuat film ini nikmat. Ketika Mayang berada di Hongkong, dia sempat berkenalang dengan Vincent. Dari awal Vincent menyukai Mayang. Namun, Mayang tidak menggubrisnya. Vincent tak menyerah, dia terus mengejar Mayang. Memberinya perhatian-perhatian kecil, meski Mayang tetap cuek dengannya. Akan tetapi, perjuangan itu tak akan sia-sia. Kesabaran Vincent mampu meluluhkan hati Mayang. Di penghujung cerita, mereka menjadi insan yang saling mencintai.
            Demikianlah, beberapa hal yang mampu saya tangkap dari film tersebut. Sebetulnya, film-film kita tidak selamanya jadi produk gagal. Jika kita mau menyelami lebih dalam, film-film kita tidak kalah potensi dengan film-film luar negeri. Di tengah menyeruaknya film horor yang tidak jelas jluntrungannya, Minggu Pagi di Victoria Park membuat saya jatuh cinta lagi dengan film Indonesia, kecuali horor porno tentunya.

0 komentar:

Posting Komentar