Minggu Pagi di Victoria Park merupakan film yang dibintangi dan
disutradarai langsung oleh Lola Amaria. Sebetulnya bukan telat lagi saya bikin
ulasan soal film ini, telat banget malahan. Soalnya film ini diproduksi sekitar
bulan Juni 2010 lalu, kalau dihitung sudah satu setengah tahun. Saya baru
kepikiran bikin ulasan, setelah tujuh kali nonton film berlatar
Hongkong-Indonesia ini.
Kisah dramatis antara dua bersaudara
yaitu Mayang[Lola Amaria] dan Sekar[Titi Sjuman] membuat saya terenyuh tiap
kali menontonnya. Mungkin sebagian dari kalian sudah ada yang tahu. Dalam film
berdurasi 100 menit tersebut, Mayang dikisahkan mempunyai adik, yakni Sekar,
yang bekerja sebagai TKW di Hongkong. Karena Sekar lama tidak pulang ke
Indonesia, Mayang akhirnya diberi mandat oleh sang Ayah untuk menyusul Sekar di
sana. Padahal Mayang sama sekali tidak ingin menjadi TKW. Namun karena paksaan
dari Ayahnya, Mayang tak kuasa mempertahankan hak untuk memilih jalan hidup.
Terlebih Sekar adalah anak kesayangan dari sang Ayah. Hal tersebut membuat Ayah
mereka makin getol memaksa Mayang untuk segera menyusul Sekar.
Melalui keberangkatan Mayang itulah
semua hal besar dalam film ini saya dapatkan. Jika masih ada yang mengingat,
saya pernah memposting status tentang film yang sudah mengusung satu
penghargaan sebagai film dengan penyuntingan terbaik di ajang FFI 2010 ini.
Tidak kurang tidak lebih seperti inilah postingan saya, “;
Minggu Pagi di Victoria Park. #betapa berharganya rejeki yg udh kita dapat,
meski itu cuma sesuap nasi. Berharganya sebuah kehidupan meski itu pahit.
Berharganya sebuah perjuangan walaupun sulit. Berharganya sebuah keluarga meski
tidak harmonis. Berharganya secuil perhatian meskipun tidak digubris.”. Status
ini saya buat di facebook pada tanggal 27 November 2011 lalu. Sesuai
dengan apa yang saya tuliskan, beberapa hal terbut di atas adalah pembelajaran
yang saya dapat dari film bersinematografi indah garapan Yadi Sugandi tersebut.
Poin
pertama, Berharganya rejeki yang sudah kita dapat meski itu cuma sesuap nasi.
Mungkin sebagian dari kita adalah orang-orang berkehidupan super beruntung,
yang tidak perlu bekerja keras untuk makan dan hidup layak. Tapi tidak demikian
bagi TKW yang menjadi sorotan utama dalam film ini. Di Hongkong sana, mereka
bekerja keras menjadi jongos orang-orang kaya, untuk makan, untuk memperoleh
gaji yang di Indonesia mengalahkan gaji Pegawai Negeri Sipil. Mereka rela
diperbudak, untuk apa? Agar taraf kehidupan mereka di kampung mengalami
peningkatan. Lebih tragis lagi jika TKW tersebut bernasib seperti Sekar. Dia
terjerat hutang dengan pihak perkreditan di sana. Paspornya disita. Kalau sudah
begitu dia akan menyandang sebutan TKW nonlegal yang menjadi buron. Otomatis,
hal utama yang dialaminya adalah kesulitan mencari pekerjaan. Dia ditolak kerja
di sana-sini meskipun hanya jadi pembantu. Sekar harus menyembunyikan
identitasnya agar mendapatkan pekerjaan part time yang tidak perlu
prosedur kerja berbelit-belit. Dari cuci piring sampai nemenin ABG tua di bar
dilakoninnya cuma untuk bertahan hidup di negara orang. Semua dilakoni hanya
untuk sesuap nasi.
Poin
ke dua, Berharganya sebuah kehidupan meski itu pahit. Kehidupan Sekar, dalam film tersebut digambarkan
sedemikian pahitnya. Terlilit hutang di negeri orang, menjadi pengasuh orang
jompo, pengasuh hewan, hingga menjadi seorang pelacur, dilakoninya untuk
bertahan hidup. Dari sini dapat saya tarik benang merah, sepahit apapun
hidupnya, Sekar tetap menganggap hidupnya berarti, untuk itu dia bertahan.
Poin
ke tiga, Berharganya sebuah perjuangan
walaupun sulit. Menyoroti tokoh Mayang dalam film tersebut, selalu mengingatkan saya
pada sebuah perjuangan. Perjuangan yang luas. Dia berjuang melawan egonya
sendiri. Dia berjuang untuk melakukan apa yang tidak diinginkannya, yakni
menjadi TKW. Perjuangan sulit seorang kakak untuk memaksa dirinya menyayangi
adik sekaligus rival yang selalu mengalahkannya dalam hal apapun. Di sisi lain,
Sekar begitu gigih berjuang demi kelangsungan hidupnya di Hongkong. Seperti
yang telah saya katakan pada poin dua. Perjuangan Sekar begitu sulit.
Poin ke empat, Berharganya sebuah keluarga meski tidak harmonis. Sekar, Mayang dan keluarganya bukanlah keluarga yang harmonis. Ayah
mereka selalu membandingkan Mayang dengan Sekar. Sekar yang pernah menuai
sukses sebagai TKW dianggap lebih mampu memberinya kebahagiaan, dibanding
Mayang yang hanya menjadi buruh tani di kampung. Hal inilah yang membuat
hubungan Mayang dengan Sekar menjadi sangat renggang. Namun, kedatangan Mayang
atas paksaan Ayahnya ke Hongkong, merupakan tindakan yang mengubah keadaan itu.
Untuk pertama kalinya Mayang berkorban demi adik yang dia sayangi sekaligus dia
benci. Di sinilah dapat saya petik hikmah, apapun keadaan keluarga, ikatan
darah tak bisa dielakkan. Dan ikatan darah itu adalah hal yang berharga
sepanjang masa.
Poin ke lima, Berharganya
secuil perhatian meskipun tidak digubris. Sepanjang kisah Mayang dan
Sekar, sentuhan gelora asmara adalah bumbu yang makin membuat film ini nikmat.
Ketika Mayang berada di Hongkong, dia sempat berkenalang dengan Vincent. Dari
awal Vincent menyukai Mayang. Namun, Mayang tidak menggubrisnya. Vincent tak
menyerah, dia terus mengejar Mayang. Memberinya perhatian-perhatian kecil,
meski Mayang tetap cuek dengannya. Akan tetapi, perjuangan itu tak akan
sia-sia. Kesabaran Vincent mampu meluluhkan hati Mayang. Di penghujung cerita,
mereka menjadi insan yang saling mencintai.
Demikianlah, beberapa hal yang mampu
saya tangkap dari film tersebut. Sebetulnya, film-film kita tidak selamanya
jadi produk gagal. Jika kita mau menyelami lebih dalam, film-film kita tidak
kalah potensi dengan film-film luar negeri. Di tengah menyeruaknya film horor
yang tidak jelas jluntrungannya, Minggu Pagi di Victoria Park membuat saya
jatuh cinta lagi dengan film Indonesia, kecuali horor porno tentunya.
0 komentar:
Posting Komentar