Senin, 02 April 2012

Madre, Lebih dari Sekedar Biang


Pertengahan tahun 2011 lalu, Dewi Lestari atau lebih dikenal dengan nama pena Dee, kembali menelurkan karyanya. Kali ini Dee memberi judul Madre pada karya fiksi ke tujuhnya. Bagi yang mengerti bahasa Spanyol, mungkin akan tertipu dengan kumpulan cerita lima tahun terakhir Dee ini. Secara etimologis Madre berasal dari bahasa Spanyol yang artinya Ibu. Dengan judul tersebut, bisa diprediksi akan banyak orang berasumsi bahwa cerita ini mengisahkan tentang sosok Ibu. Namun, setelah mengetahui isinya, akan nampak tipuan Dee yang justru menjadi surprise bagi para pembaca.
Ternyata, Madre adalah nama dari biang roti. Sebelum ada ragi instan, biang roti merupakan bahan pengembang untuk roti. Uniknya lagi, Madre dalam cerita tersebut bukanlah berperan sebagai latar atau pelengkap saja. Madre adalah tokoh. Tokoh utama setelah Tansen. Mengapa demikian? Sebab Madre-lah yang menjadi penyebab segala kejadian, peristiwa, hingga konflik dalam cerita tersebut.
Novelet yang dijadikan masterpis dalam buku kumpulan cerita Dee ini menceritakan tentang perjalanan hidup seorang pemuda, bernama Tansen. Hidupnya berubah 180 derajat gara-gara se-toples microbacteri yaitu Madre. Awalnya Tansen dikejutkan dengan pemakaman seorang kakek tua bersuku Tionghoa yang harus dihadirinya. Yang membuatnya meninggalkan pekerjaan serabutannya di Bali. Kemudian, kejutan demi kejutan dia temui usai pemakaman kakek keturunan Tionghoa di Jakarta itu.
Kejutan pertama adalah, almarhum kakek tua tersebut mencantumkan Tansen sebagai ahli warisnya. Lewat pengacara beliau, Tansen diberi amplop yang berisi wasiat. Wasiat tersebut ternyata adalah sebuah kunci dan secarik kertas betuliskan alamat suatu tempat. Lalu Tansen mendatangi alamat yang tercantum dalam wasiat itu. Di sana ada seorang kakek tua pula, bernama Pak Hadi. Atas bantuan Pak Hadi diketahulah bahwa ternyata kunci yang dipegang Tansen adalah kunci dari sebuah kulkas.
Tansen seketika itu bingung setengah mati. Kebingungannya makin menjadi saat kulkas tersebut dibuka. Di dalamnya ada satu toples besar berisi cairan putih keruh, dia adalah Madre. Meskipun hanya biang, Madre diperlakukan sangat manusiawi. Madre memang hidup. Bahkan lebih lama dari yang membuatnya, yaitu Laskhmi, nenek Tansen.
Madre berusia 70 tahun, dia lahir di tahun 1941 lewat tangan nenek Tansen. Dan orang yang dimakamkan itu, yakni Pak Tan, tidak lain dan tidak bukan adalah kakek dari Tansen. Parahnya, selama hidup Tansen tidak pernah tahu akan hal tersebut. Madre kemudian memaksa Tansen untuk menjadi seorang pembisnis roti. Toko roti peninggalan kakeknya telah mati suri. Sang kakek yang bernama Tan, percaya bahwa Tansen kelak bisa menghidupkan kembali usahanya.
Tansen tentu menolak keras warisan itu. Dia bahkan sempat berpikir untuk menjual Madre. Namun, ketika 5 orang Bakker tua datang ke toko dan melakukan upacara perpisahan untuk Madre, Tansen berubah pikiran. Sejak hari itu kehadiran Madre begitu membawa arti bagi Tansen. Madre mempertemukannya dengan silsilah hidupnya, keluarga barunya, pekerjaannya, dan cintanya, yaitu Mei, orang yang berniat membeli Madre dari Tansen.
Senada dengan Tansen yang menilai Madre sedemikian berarti, saya juga berpendapat bahwa Madre begitu luar biasa. Madre lebih dari sekedar biang. Madre lebih dari sekedar cerita. Madre adalah seorang tokoh sekaligus akar dari kisah yang disajikan Dee. Seperti biasa, Dee selalu menembak tema yang ringan bahkan sepele, kemudian memadupadankan tema itu dengan berbagai sub tema. Namun, ringgannya tema yang dibidik bukan berarti menjadikan cerita ini tanpa isi. Justru tema kecil itu mampu menghasilkan isi yang kaya dan kompleks. Warna-warna yang timbul dari cerita tersebut sangat beragam. Mulai budaya, ilmu pengetahuan alam, ilmu bisnis, ilmu tataboga, nilai sosial, gaya hidup, dan cinta. Semua aspek tersebut diracik dan dikemas secara menarik. Dengan konflik-konflik yang alami. Tanpa ada kesan memaksa.
Warna budaya yang ditampilka melalui Madre adalah budaya Tionghoa dan India. Lewat kisah tersebut, Dee memberi pengetahuan mengenai dua kebudayaan yang sama kuat. Bahkan dia mencoba menyatukan keduanya melalui pernikahan Tan Sie Gie dan Lakshmi, si kakek dan nenek Tansen. Dalam budaya Cina dan India jaman dulu, menikahi orang yang bukan rasnya memang dilarang keras. Bagi mereka yang berani melakukannya, maka akan mendapat kutukan. Ketika menikahi Lakshmi, Tan Sie Gie diusir dari rumah dan tidak diakui lagi menjadi bagian keluarganya, demikian dengan Lakshmi. Lakshmi kemudian melahirkan Ibu Tansen, Kartika. Lalu dia meninggal. Kartika juga meninggal beberapa waktu setelah melahirkan Tansen. Hal itu tentu menyiratkan keampuhan tradisi pada masa lampau. Melanggar tradisi memang selalu berbuah akibat. Entah itu disadari atau tidak.
Di luar itu saya menemukan alasan lain mengapa Dee memilih latar belakang India sebagai ras nenek Tansen. Bukan Belanda, Paris, Swiss atau negara Eropa lain yang biasa dipandang masyarakat lebih identik dengan antah berantah dunia roti. Karena sebetulnya, roti yang berkembang di Indonesia itu pertama kali dibawa oleh orang India. Bukan Belanda ataupun yang lainnya. Bangsa India-lah yang memperkenalkan roti pada bangsa Indonesia, ketika berdagang.
Kemudian untuk menyampaikan kentalnya warna bisnis dalam cerita tersebut, Dee menampilkan ras Tionghoa. Sebuah bidikan yang tepat. Telah banyak diketahui bahwa orang-orang bisnis di Indonesia mayoritas adalah orang Cina. Melalui toko roti Tan De Bakker, Dee mencoba menghadirkan dua ras dengan latar belakang budaya yang kontras dalam satu kesatuan. Toko yang diolah oleh Tan Sin Gie, orang Cina dan rotinya dibuat oleh Lakshmi, orang India.
Warna dunia bisnis makin terasa ketika tokoh Mei dimunculkan. Mei adalah pengelola toko roti modern, Fairy Bread. Atas bantuan Mei-lah Tan de Bakker berubah nama menjadi Tansen de Bakker. Tan de Bakker yang mati suri dihidupkan kembali oleh Tansen, Pak Hadi, Mei dan pengabdi Tan de Bakker lainnya. Dalam upaya penghidupan itulah tersirat aroma bisnis yang menawan. Dari permodalan hingga managemen bisnis, tertuang dalam cerita.
Berhubung Madre sendiri adalah sebuah mikroba, khayal rasanya jika sentuhan ilmu pengetahuan tidak diikutsertakan. Membaca Madre memberi saya stimulus untuk mengingat-ingat pelajaran kelas 1 SMA, ketika ditugasi guru untuk membuat nata de coco. Meski berbeda ternyata pada prinsipnya sama. Membuat biang juga butuh kesabaran dalam ujicoba mengombinasikan fermentasi bahan untuk menghasilkan biang yang berkualitas. Biang dapat bertahan berpuluh tahun bahkan ratusan tahun jika dirawat dengan benar. Seperti mahluk hidup lainnya, Madre diberi makan. Dia pun juga punya instink. Karena dia juga hidup. Jika Hachiko si anjing setia dari Jepang memilih Isabura Ueno sebagai tuannya, maka Madre juga demikian. Dia memilih Tansen sebagai tuannya. Untuk itulah Madre sangat dimanusiakan oleh orang-orang Tan de Bakker yaitu Pak Hadi, Bu Sum, Bu Dedeh, Pak Joko, dan Bu Cory.
Selain warna-warna di atas, tak lengkap rasanya jika sebuah cerita tidak dihiasi dengan sebuah kisah cinta. Karena itulah Dee memunculkan Mei sebagai pemikat hati Tansen. Tansen mulai jatuh cinta pada Mei ketika  Mei menyadarkannya bahwa Madre sangat berarti. Selain Pak Hadi, Mei adalah orang yang menahan Tansen untuk tetap menjalani hidup yang tak disukainya di Jakarta. Melalui hal-hal yang dialaminya bersama Mei, ternyata mambuat hati Tansen luluh. Terlebih toko roti mereka bekerjasama. Dukungan cinta Mei membuat Tansen bertekad untuk meneruskan bisnis almarhum kakeknya. Tansen bahkan mencoba membuat biang baru dari fermentasi nanas, yang dinamai Padre.
Jika ditarik kesimpulan, warna-warna di atas merupakan penggambaran latar yang muncul karena keberadaan Madre. Membaca kisah ini memberi banyak pelajaran terhadap diri saya. Mulai budaya hingga ilmu pengetahuan bahkan juga cinta. Dee menyampaikan semua itu dengan bahasa yang ringan. Dengan berbagai surprise lewat tokoh dan konflik yang mereka alami. Madre begitu hidup dan penuh keberagaman nilai didalamnya.

0 komentar:

Posting Komentar