Emban Cinde Emban Ciladan,
merupakan salah satu dari sekian banyak pepatah Jawa. Pepatah ini dalam bahasa
sehari-sehari bisa diartikan tidak adil atau pilih kasih. Sekilas mungkin menimbulkan
tanda tanya besar mengapa saya menuliskan pepatah ini.
Hal ini bermula ketika saya
mengajari Yuli, salah satu siswa kelas 2 SD yang kebetulan dia adalah tetangga
saya. Saat itu Yuli meminta saya untuk mengajarinya Matematika dan IPA.
Daripada menganggur apa salahnya membantu orang lain, pikir saya saat itu. Saya
kaget ketika Yuli menujukkan buku pekerjaannya yang awut-awutan, banyak coretan
di sana-sini. Namun hal itu saya maklumi, karena Yuli masih kecil.
Kemudian sambil saya ajari,
saya mencoba mengamati pola berpikir bocah tersebut. Sesekali saya bertanya,
bermaksud memberi impuls pada otaknya agar dia tidak seperti seekor kuda yang
saya kusiri. Namun anehnya tidak satu impulspun dia mengerti, alias not
responding. Kemudian saya mengambil cara lain, saya terangkan maksut buku
sedetail mungkin, sejelas-jelasnya pada Yuli sampai saya kasih beberapa contoh
soal. Saya menyuruh Yuli untuk mengerjakan soal dari buku, Alhamdulillah dia
bisa mengerjakan ke lima soal meski masih sesekali dia bertanya.
Sambil menunggu Yuli
menyelesaikan soal, saya iseng-iseng saja membuka satu per satu buku dalam
tasnya. Hingga saya temukan tulisan Yuli yang menurut saya agak menggelitik.
Dalam tulisan tersebut Yuli sedang asyik membicarakan gurunya. Secara singkat
dia mengekspresikan kekesalannya terhadap sang Guru yang selalu menunjuk
temannya terlebih dahulu ketimbang dirinya.
Alhasil, sayapun ikut
penasaran. Setelah Yuli selesai mengerjakan soal, sambil mengoreksi saya
akhirnya bertanya tentang tulisan yang saya temukan di halaman paling belakang
buku pekerjaan matematikanya. Setelah kami mengobrol, saya dapati banyak hal
yang melatarbelakangi ditulisnya ungkapan tentang Guru matematikanya itu.
Menurut keterangan Yuli, dia
kecewa dengan Gurunya karena selalu mengabaikan acungan tangannya saat ingin
mengerjakan soal di papan tulis. Guru tersebut selalu memilih temannya yang
lebih pintar, atau temannya lagi yang kata Yuli masih kerabat dekat sang Guru.
Giliran mereka tidak ditunjuk, soal yang ditanyakan tidak bisa dikerjakan oleh
Yuli. “Pokok’e mbak giliran aku iso no mesthi sing ditunjuk Rendy, nek gak
ngono kancaku seng juara. Giliran cah pinter-pinter gak maju aku pas gak iso
nggarap. Pilih kasih jan to mbak”, papar Yuli.
Ketika itu saya hanya diam,
mendengarkan Yuli bercerita tentang keluh kesahnya mengenai guru tersebut. Saat
dia sudah pulang sambil merenung, pernyataan Yuli mengingatkan pada pengalaman
saya saat bersekolah dulu. Saya pernah mengalami apa yang anak itu alami saat
ini. Sedikit banyak saya bisa merasakannya.
Bertahun-tahun menjadi anak
sekolahan, membuat saya bertemu dengan berbagai jenis guru yang berbeda-beda.
Baik dari segi mengajar, bercanda hingga berinteraksi semuanya sangat
bervariasi. Ada yang killer, gokil, menggebu-gebu, galak, smart, sampai yang
datar-datar saja pernah saya temui. Beberapa ada yang saya sukai dan ada yang
tidak saya sukai. Ada yang bikin saya bete ada yang bikin saya ketagihan diajar
beliau. Tapi mau gimanapun beliau adalah guru dan saya murid. Mau tidak mau
harus saya hormati tanpa perlu banyak protes.
Pahit memang ketika ada seorang
guru yang pilih kasih. Di mana dalam kelas ada yang namanya anak emas dan anak
besi biasa. Bagi mereka yang berpotensi menjadi anak emas, (kriteria umum:
pinter, kalau cewek ya cantik, kalau cowok ya ganteng, punya sisi PD yang
sedikit over dan perayu yang ulung). Hal itu tidak begitu jadi kendala. Akan
tetapi bagi anak besi biasa, punya guru pilih kasih itu ibarat kiamat yang
datang dadakan. Karier sebagai murid pasti tidak semulus yang diharapkan.
Bagaimana mau mulus, jika yang ditunjuk ke depan itu-itu saja. Mau tunjuk
tangan juga keburu mati PD duluan. Yah akhirnya jadi pengikut si Yuli deh.
Saya juga kurang begitu paham,
apa sih untungnya seorang guru kalau pilih kasih? Dipikir-pikir sama sekali
tidak ada keuntungan yang bonafide. Menurut saya sikap pilih kasih itu sikap
yang jauh dari kata profesional. Bukankah murid itu harusnya dipandang sama.
Semua murid yang duduk manis di dalam kelas itu butuh asupan yang sama, entah
seperti apa treathmentnya. Mereka butuhperhatian yang seimbang, yang tidak
berat sebelah. Saya rasa semua guru pasti sudah terlatih semasa kuliah untuk
memanage kelas dan memahami karakter setiap anak didiknya. Perbedaan diantara mereka
harusnya bisa teratasi, sehingga mereka tetap merasakan yang namanya keadilan.
Nah, begitu sedikit hal yang
ingin saya bagi. Sebetunya problem seperti ini tidak hanya saya temui dalam
hubungan antara guru dengan murid. Sikap pilih kasih banyak terjadi di berbagai
interaksi. Orangtua ke anak, seseorang ke teman-temannya dan banyak lagi. Sikap
tidak adil sebetulnya menimbulkan kecemburuan sosial yang sangat besar. Untuk
itu saya dapat menyimpulkan bahwa adil itu lebih dari sikap. Adil adalah sebuah
tuntutan.
0 komentar:
Posting Komentar