Sabtu, 10 Maret 2012

Pengrajin Senik Andalkan Transaksi Gaib


Ketika kecil, sekitar tahun 1990-an, di daerah saya tepatnya di Dukuh Turus, Desa Purwosari, Magetan, banyak ditemui pengrajin senik. Senik adalah sejenis kerajinan dari bambu, yang biasanya digunakan sebagai wadah sesuatu. Seperti bakul namun ukurannya besar. Berdiameter 30 cm hingga 40 cm. Berkat kerajinan inilah desa saya (ketika itu) banyak didatangi distributor atau pengepul senik. Bahkan para pengrajin dan distributor tersebut hampir memenuhi area pasar tradisonal di desa saya. Saat itu pengrajin-pengrajin senik setidaknya bisa menjadikan karya mereka sebagai tumpuan untuk mengais pundi-pundi rupiah. 
Akan tetapi, kini cerita tinggalah cerita. Semenjak pasar tradisional Purwosari diperbaiki, lahan jual beli mereka tergusur oleh bangunan-bangunan pertokoan. Sesekali masih ada pengrajin dan pengepul yang mewarnai pasar. Namun seiring bertambahnya waktu tiada lagi pengrajin dan pengepul yang tawar-menawar di pasar desa Purwosari.
Transaksi gaiblah yang dilakoni pengrajin senik hingga saat ini. Saya menyebutnya sebagai transaksi gaib, karena transaksi ini muncul dan hilang secara tiba-tiba. Tempatnya tak lagi di area pasar. Namun di perempatan kecil utara pasar. Tepat di sebelah utara rumah saya. Biasanya mereka mulai bernegosiasi pukul 04.00 WIB dan menyelesaikannya pada pukul 06.30 WIB. Pasar kecil-kecilan nan nyentrik ini sebetulnya tidak begitu mendatangkan keuntungan bagi para pengrajin. Pertimbangan tradisi dan untuk mendulang tambahan uang menjadi pendorong eksisnya prosesi ini.
Pengrajin senik yang tidak sebanyak dulu membuat pengepul kelabakan. Pengrajin-pengrajin tersebut lebih memilih pekerjaan lain yang menurut mereka pendapatannya sesuai. Alhasil, kini pengrajin senik yang ada di desa saya tinggal orang-orang lansia yang tenaganya sudah sangat minim. Jika ini dibiarkan maka tidak ada regenerasi dan senik akan punah. Padahal menurut keterangan Bapak Saimin, salah satu pengrajin senik yang pernah merantau ke Lampung. Di Lampung peminat senik sangat luar biasa. “Kalau di sini senik hanya Rp. 8000,00-Rp. 10.000,00 di sana harganya bisa Rp. 25.000,00 kadang juga lebih”, terang beliau.
Dari keterangan tersebut, sebetulnya senik masih menyimpan potensi untuk dipasarkan. Dengan metode pemasaran yang tertata, mungkin senik akan kembali laris seperti sedia kala. Pengrajin-pengrajin tersebut bisa menurunkan ilmu membuat senik pada anak cucunya. Sehingga minimal, kerajinan asli Indonesia seperti ini dapat lestari sekaligus menyokong perekonomian masyarakat.

4 komentar:

  1. jadi, apakah anda tertarik untuk melestarikannya?

    BalasHapus
  2. @guntur; ah nggak ah... apanya yang seram?

    @ricanaza; sangat tertarik sebetulnya... tapi SDM nya sangat terbatas...

    BalasHapus