This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 10 Maret 2012

Pengrajin Senik Andalkan Transaksi Gaib


Ketika kecil, sekitar tahun 1990-an, di daerah saya tepatnya di Dukuh Turus, Desa Purwosari, Magetan, banyak ditemui pengrajin senik. Senik adalah sejenis kerajinan dari bambu, yang biasanya digunakan sebagai wadah sesuatu. Seperti bakul namun ukurannya besar. Berdiameter 30 cm hingga 40 cm. Berkat kerajinan inilah desa saya (ketika itu) banyak didatangi distributor atau pengepul senik. Bahkan para pengrajin dan distributor tersebut hampir memenuhi area pasar tradisonal di desa saya. Saat itu pengrajin-pengrajin senik setidaknya bisa menjadikan karya mereka sebagai tumpuan untuk mengais pundi-pundi rupiah. 
Akan tetapi, kini cerita tinggalah cerita. Semenjak pasar tradisional Purwosari diperbaiki, lahan jual beli mereka tergusur oleh bangunan-bangunan pertokoan. Sesekali masih ada pengrajin dan pengepul yang mewarnai pasar. Namun seiring bertambahnya waktu tiada lagi pengrajin dan pengepul yang tawar-menawar di pasar desa Purwosari.
Transaksi gaiblah yang dilakoni pengrajin senik hingga saat ini. Saya menyebutnya sebagai transaksi gaib, karena transaksi ini muncul dan hilang secara tiba-tiba. Tempatnya tak lagi di area pasar. Namun di perempatan kecil utara pasar. Tepat di sebelah utara rumah saya. Biasanya mereka mulai bernegosiasi pukul 04.00 WIB dan menyelesaikannya pada pukul 06.30 WIB. Pasar kecil-kecilan nan nyentrik ini sebetulnya tidak begitu mendatangkan keuntungan bagi para pengrajin. Pertimbangan tradisi dan untuk mendulang tambahan uang menjadi pendorong eksisnya prosesi ini.
Pengrajin senik yang tidak sebanyak dulu membuat pengepul kelabakan. Pengrajin-pengrajin tersebut lebih memilih pekerjaan lain yang menurut mereka pendapatannya sesuai. Alhasil, kini pengrajin senik yang ada di desa saya tinggal orang-orang lansia yang tenaganya sudah sangat minim. Jika ini dibiarkan maka tidak ada regenerasi dan senik akan punah. Padahal menurut keterangan Bapak Saimin, salah satu pengrajin senik yang pernah merantau ke Lampung. Di Lampung peminat senik sangat luar biasa. “Kalau di sini senik hanya Rp. 8000,00-Rp. 10.000,00 di sana harganya bisa Rp. 25.000,00 kadang juga lebih”, terang beliau.
Dari keterangan tersebut, sebetulnya senik masih menyimpan potensi untuk dipasarkan. Dengan metode pemasaran yang tertata, mungkin senik akan kembali laris seperti sedia kala. Pengrajin-pengrajin tersebut bisa menurunkan ilmu membuat senik pada anak cucunya. Sehingga minimal, kerajinan asli Indonesia seperti ini dapat lestari sekaligus menyokong perekonomian masyarakat.

Kamis, 08 Maret 2012

Sensasi Horor Mie Setan


Sudah bukan hal baru jika kota Malang dinilai sebagai salah satu wilayah potensial di Jawa Timur. Berbagai kekayaan yang dimilikinya, menjadikan Malang semakin berjaya. Salah satu kekayaan tersebut adalah keberagaman kulinernya. Sudah lumrah jika Malang diidentikkan dengan bakso. Namun, ada ragam kuliner baru dari kota bunga ini, yang menantang untuk dijajaki. “Mie Setan”, demikian makanan ini dinamai.
            Mie sensasional itu terletak di jalan Bromo nomor 1A, Malang. Dari namanya saja sudah tercium kesan unik yang membuat kepala penuh tanda tanya. Mie tersebut diberi nama “Mie Setan” karena bumbu cabainya yang membuat penikmat kesetanan. Mengunjungi tempat ini memang memberi berbagai sensasi, tak hanya indikasi kesetanan gara-gara pedasnya. Tetapi prosesi untuk mendapatkannya juga merupakan sensasi tersendiri.
Sensasi pertama adalah panjangnya antrian untuk memesan menu. Menu yang ditawarkan pun sangat horor. Mie yang berlabel setan tersebut, disajikan dengan berbagai level sesuai jumlah cabainya. Level satu dengan cabai 12 biji. Level dua dengan cabai 24 cabai. Level tiga dengan 35 cabai. Level empat dengan 45 cabai, serta level 5 dengan 60 cabai. Bisa terbayang betapa horornya mie ini. Menu minumannya juga dikemas dengan nuansa misteri. Yakni es Pocong, es Genderuwo, es Kuntilanak, es Sundel Bolong dan es Tuyul.
Tahap berikutnya adalah kesulitan untuk mendapat tempat duduk. Ramainya pengunjung membuat tempat ini penuh sesak oleh manusia “kesetanan”. Akan tetapi, kita tidak perlu khawatir, para pramuniaga sangat kooperatif untuk mengusahakan customer agar tidak terlalu lama berdiri.
Setelah mendapat tempat duduk, jangan harap sensasi akan berakhir. Sesudah itu, kita akan dihadapkan pada penantian lagi untuk proses pemasakan menu yang telah kita pesan. Namun jangan khawatir, nuansa yang asik akan memanjakan kita di sana.
Klimaks dari berburu kuliner ini ialah ketika menyantap “Mie Setan” itu sendiri. Bagi yang suka tantangan tak ada salahnya mencoba berbagai level yang disajikan. Jangan kaget jika level-level tersebut membuat lidah bergetar, telinga panas, air mata bercucuran, dan perut bergejolak. Justru itulah sensasi horornya.
“Ini level dua, saya masih santai. Tapi sebelumnya saya pernah mencoba level empat dan rasanya saya seperti terpental entah ke mana”, ungkap Nuri, salah satu penggemar “Mie Setan”. 
            Bagi yang tidak suka tantangan atau yang bermasalah dengan cita rasa pedas, di sana juga tersedia mie tanpa cabai yang dinamai “Mie Angel”, lawan dari “Mie Setan”. Konsep unik ini memang merupakan magnet bagi makanan tersebut. Tempat ini dibuka pada pukul 15.00 WIB. Untuk  penggemar kuliner, “Mie Setan” merupakan makanan yang layak dijadikan referensi jika hendak berkunjung ke Malang.

Menikmati Negeri 5 Menara


Lagi-lagi dunia perfilman mengadaptasi novel sebagai naskahnya. Setelah Andrea Hirata yang karyanya mencuat di ranah perfilman, kali ini giliran penulis novel best seller Negeri 5 Menara, Ahmad Fuadi (mantan wartawan majalah Tempo dan VOA). Beberapa waktu lalu novel ini menggegerkan kurang lebih 9 produser film. Hingga akhirnya film tersebut diproduseri oleh Aoura Lovenson Chandra, Dinna Jasanti Dan Salman Aristo(filmografi Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, Garuda di Dadaku, dan beberapa film Indonesia lainnya). Salman Aristo juga berperan dalam penulisan skenario film berlatar pondok ini. Selain sentuhan insan perfilman handal di atas, film bergenre drama tersebut disutradarai oleh Affandi Abdul Rahman (sutradara film Pencarian Terakhir).
            Sedikit cerita, jauh sebelum novel Negeri 5 Menara diwacanakan akan diadaptasi menjadi sebuah film, teman saya, salah seorang penggiat di dunia kepenulisan sempat memberi informasi mengenai novel tersebut pada saya. Dia bercerita panjang lebar, yang intinya novel Negeri 5 Menara ini mempunyai kemiripan benang merah dengan novel Laskar Pelangi. Perbedaan yang mencolok hanya di sisi latar. Jika Laskar Pelangi mengambil latar sekolah Islam reguler yang akan musnah, Negeri 5 Menara berlatar pondok . Setelah beberapa waktu, beberapa media online ramai membicarakan novel ini. Usut punya usut novel cetakan 2009 itu difilmkan. Kebetulan beberapa rekan saya pun mengajak menonton film tersebut. Alhasil muncullah sebuah suspensi dan berujung pada tanda tanya besar tentang film adaptasi itu.
            Negeri 5 Menara, mengisahkan seorang remaja laki-laki bernama Alif. Alif berasal dari tanah Minangkabau. Lulus dari SMP, Alif dipaksa oleh orangtuanya untuk menimba ilmu di sebuah pondok. Pondok Madani namanya. Alif mengiyakan perintah tersebut dengan kemelut yang luar bisasa di hatinya. Maklum, Alif sebetulnya tak ingin bersekolah di Pondok. Dia ingin sekolah di SMA di Bandung seperti sahabat karibnya, Randai. Kelak, dia pun ingin masuk ITB, seperti Pak Habibie. Namun, kemelut dahsyat itu lenyap oleh keinginan gigih orangtua Alif. Dia berangkat ke Jawa Timur. Lalu, bersekolah di pondok Madani.
            Dari sinilah berbagai kisah yang menginspirasi dimulai. Alif berkenalan dengan berbagai manusia dari berbagai daerah asal. Di hari-hari pertama masuk pondok, Alif dipertemukan dengan para sahabatnya melalui hukuman jewer berantai. Sahabat-sahabat itu adalah Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Basa dari Gowa.
            Negeri 5 Menara identik dengan mantera man jadda wajada. Mantera ini didoktrinkan oleh ustad Salman. Artinya siapa yang bersungguh-sungguh dialah yang akan menuai kesuksesan. Ustad Salman, menyampaikan pesan itu menggunakan sebilah pedang tumpul berkarat dan sebatang kayu. Sang ustad memotong kayu tersebut di depan murid-muridnya. Seketika anak didiknya terheran-heran pada tingkah gurunya. Ustad Salman terus-menerus mencoba mematahkan kayu itu dengan pedang. Hingga keringatnya bercucuran dan napasnya terengah-engah. Setelah kayu itu patah, ustad Salman berucap, “Bukan yang paling tajam, tapi yang paling bersungguh-sungguh. Man jadda wajada!”. Serentak para murid terpana. Kemudian ruangan itu bergemuruh. Mengumandangkan mantera sakti.
Hampir setiap hari di waktu istirahat mereka (Alif dan teman-temannya) nongkrong di bawah menara masjid yang ada di Pondok Madani. Hal ini membuat sekawanan itu dijuluki Sahibul Menara (Pemelik Menara). Suatu hari sambil istirahat, mereka berbincang tentang impian mereka masing-masing. Dalam bayangan mereka, awan-awan yang menghampar di langit berubah menjadi tempat-tempat yang ingin mereka tuju kelak. Tempat-tempat itu punya menaranya masing-masing. Dan dalam hemat mereka kelak mereka harus menakhlukkan ‘menara’ mereka masing-masing.
Dengan tekad yang gigih, sekawanan itu terus membuat berbagai kemajuan di bidangnya masing-masing. Berbagai hal besar mereka lakukan di pondok Madani. Mereka sangat kompak. Namun, hal itu masih saja membuat Alif setengah hati berada di sana. Alif masih berkeinginan sekolah di Bandung, menyusul kawannya. Hingga suatu hari kegalauan Alif memuncak. Setelah Basa harus berhenti dari pondok sebab neneknya di Gowa tengah jompo dan tidak ada yang mengurusi.
Alif kemudian teringat pada cita-citanya yakni ingin sekolah di sekolah non agama. Dia terus teringat pada surat-surat Randai yang menceritakan asiknya sekolah di sekolah biasa. Alif sempat ingin meninggalkan pondok tersebut. Meminta Amak dan Ayahnya untuk menguruskan surat pindah dan prosedur ujian kesetaraan. Para sahabatnya tentu saja marah pada Alif. Meski sempat membujuk Alif untuk tetap tinggal, namun rasa kecewa tetap tak dapat dienyahkan. Tingkah sahabatnya itu membuat Alif berpikir keras. Perang batin berkecamuk dalam hatinya. Dia mengingat berapa banyak podok tersebut memberinya pengalamn berharga. Bertemu dengan orang-orang hebat. Bertemu dengan kawan-kawan yang baik. Bertemu dengan mantera sakti man jadda wajada. Kecamuk itu terus menghantuinya, hingga dia memutuskan untuk tetap tinggal. Di akhir cerita, Alif dan para sahabatnya tengah sukses menggelar pementasan drama. Beberapa tahun kemudian, Alif dan para sahabatnya berhasil menakhlukkan ‘menara’ mereka masing-masing.
Demikianlah, kisah singkat dari film Negeri 5 Menara. Film tersebut sebetulnya mempunyai kisah yang sangat kompleks. Mulai dari hubungan anak dan orang tua, hubungan seseorang dengan sahabat-sahabatnya, pertentangan batin seseorang, hingga hubungan murid dengan gurunya. Semua dikemas dalam potret kehidupan pondok. Hal yang dapat saya tarik sebagai penikmat adalah cara pandang masyarakat umum memang demikian sempit terhadap pondok. Melalui simbol Alif, dapat saya tangkap bagaimana dia memandang suatu pondok. Demikian juga yang saya temui di dunia nyata. Sekolah berjalur agama selalu diidentikkan dengan kata kolot, kuno, dan tidak bergengsi. Hal inilah yang ingin ditepis oleh penggagas film tersebut.
Secara garis besar film ini memberi inspirasi yang positif bagi kita. Terlepas dari kisah Alif dan sekawanannya, mantra man jadda wajada yang diusung, cukup membuat film ini berisi. Melihat film ini menjadikan memori saya berputar pada masa-masa sekolah. Mengingatkan saya pada kedua orang tua saya di rumah. Guru-guru saya dari TK, SD, SMP, SMA. Sahabat-sahabat saya yang kini juga berjuang untuk ‘menara’ mereka masing-masing. Kisah hidup. Perjuangan. Saya juga sedikit teringat pada Ikal dan Lintang.