Lagi-lagi dunia perfilman mengadaptasi novel sebagai
naskahnya. Setelah Andrea Hirata yang karyanya mencuat di ranah perfilman, kali
ini giliran penulis novel best seller
Negeri 5 Menara, Ahmad Fuadi (mantan wartawan majalah Tempo dan VOA). Beberapa
waktu lalu novel ini menggegerkan kurang lebih 9 produser film. Hingga akhirnya
film tersebut diproduseri oleh Aoura Lovenson Chandra, Dinna Jasanti Dan Salman
Aristo(filmografi Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, Garuda di Dadaku, dan
beberapa film Indonesia lainnya). Salman Aristo juga berperan dalam penulisan
skenario film berlatar pondok ini. Selain sentuhan insan perfilman handal di
atas, film bergenre drama tersebut disutradarai oleh Affandi Abdul Rahman
(sutradara film Pencarian Terakhir).
Sedikit cerita, jauh
sebelum novel Negeri 5 Menara diwacanakan akan diadaptasi menjadi sebuah film,
teman saya, salah seorang penggiat di dunia kepenulisan sempat memberi
informasi mengenai novel tersebut pada saya. Dia bercerita panjang lebar, yang
intinya novel Negeri 5 Menara ini mempunyai kemiripan benang merah dengan novel
Laskar Pelangi. Perbedaan yang mencolok hanya di sisi latar. Jika Laskar
Pelangi mengambil latar sekolah Islam reguler yang akan musnah, Negeri 5 Menara
berlatar pondok . Setelah beberapa waktu, beberapa media online ramai
membicarakan novel ini. Usut punya usut novel cetakan 2009 itu difilmkan. Kebetulan
beberapa rekan saya pun mengajak menonton film tersebut. Alhasil muncullah
sebuah suspensi dan berujung pada tanda tanya besar tentang film adaptasi itu.
Negeri 5 Menara,
mengisahkan seorang remaja laki-laki bernama Alif. Alif berasal dari tanah
Minangkabau. Lulus dari SMP, Alif dipaksa oleh orangtuanya untuk menimba ilmu
di sebuah pondok. Pondok Madani namanya. Alif mengiyakan perintah tersebut
dengan kemelut yang luar bisasa di hatinya. Maklum, Alif sebetulnya tak ingin
bersekolah di Pondok. Dia ingin sekolah di SMA di Bandung seperti sahabat
karibnya, Randai. Kelak, dia pun ingin masuk ITB, seperti Pak Habibie. Namun,
kemelut dahsyat itu lenyap oleh keinginan gigih orangtua Alif. Dia berangkat ke
Jawa Timur. Lalu, bersekolah di pondok Madani.
Dari sinilah berbagai
kisah yang menginspirasi dimulai. Alif berkenalan dengan berbagai manusia dari
berbagai daerah asal. Di hari-hari pertama masuk pondok, Alif dipertemukan
dengan para sahabatnya melalui hukuman jewer berantai. Sahabat-sahabat itu
adalah Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari
Bandung, dan Basa dari Gowa.
Negeri 5 Menara identik
dengan mantera man jadda wajada.
Mantera ini didoktrinkan oleh ustad Salman. Artinya siapa yang
bersungguh-sungguh dialah yang akan menuai kesuksesan. Ustad Salman,
menyampaikan pesan itu menggunakan sebilah pedang tumpul berkarat dan sebatang
kayu. Sang ustad memotong kayu tersebut di depan murid-muridnya. Seketika anak
didiknya terheran-heran pada tingkah gurunya. Ustad Salman terus-menerus
mencoba mematahkan kayu itu dengan pedang. Hingga keringatnya bercucuran dan
napasnya terengah-engah. Setelah kayu itu patah, ustad Salman berucap, “Bukan
yang paling tajam, tapi yang paling bersungguh-sungguh. Man jadda wajada!”. Serentak para murid terpana. Kemudian ruangan
itu bergemuruh. Mengumandangkan mantera sakti.
Hampir setiap hari di waktu
istirahat mereka (Alif dan teman-temannya) nongkrong
di bawah menara masjid yang ada di Pondok Madani. Hal ini membuat sekawanan itu
dijuluki Sahibul Menara (Pemelik
Menara). Suatu hari sambil istirahat, mereka berbincang tentang impian mereka
masing-masing. Dalam bayangan mereka, awan-awan yang menghampar di langit
berubah menjadi tempat-tempat yang ingin mereka tuju kelak. Tempat-tempat itu
punya menaranya masing-masing. Dan dalam hemat mereka kelak mereka harus
menakhlukkan ‘menara’ mereka masing-masing.
Dengan tekad yang gigih, sekawanan
itu terus membuat berbagai kemajuan di bidangnya masing-masing. Berbagai hal
besar mereka lakukan di pondok Madani. Mereka sangat kompak. Namun, hal itu
masih saja membuat Alif setengah hati berada di sana. Alif masih berkeinginan
sekolah di Bandung, menyusul kawannya. Hingga suatu hari kegalauan Alif
memuncak. Setelah Basa harus berhenti dari pondok sebab neneknya di Gowa tengah
jompo dan tidak ada yang mengurusi.
Alif kemudian teringat pada
cita-citanya yakni ingin sekolah di sekolah non agama. Dia terus teringat pada
surat-surat Randai yang menceritakan asiknya sekolah di sekolah biasa. Alif
sempat ingin meninggalkan pondok tersebut. Meminta Amak dan Ayahnya untuk
menguruskan surat pindah dan prosedur ujian kesetaraan. Para sahabatnya tentu
saja marah pada Alif. Meski sempat membujuk Alif untuk tetap tinggal, namun
rasa kecewa tetap tak dapat dienyahkan. Tingkah sahabatnya itu membuat Alif
berpikir keras. Perang batin berkecamuk dalam hatinya. Dia mengingat berapa banyak
podok tersebut memberinya pengalamn berharga. Bertemu dengan orang-orang hebat.
Bertemu dengan kawan-kawan yang baik. Bertemu dengan mantera sakti man jadda wajada. Kecamuk itu terus
menghantuinya, hingga dia memutuskan untuk tetap tinggal. Di akhir cerita, Alif
dan para sahabatnya tengah sukses menggelar pementasan drama. Beberapa tahun
kemudian, Alif dan para sahabatnya berhasil menakhlukkan ‘menara’ mereka masing-masing.
Demikianlah, kisah singkat dari film
Negeri 5 Menara. Film tersebut sebetulnya mempunyai kisah yang sangat kompleks.
Mulai dari hubungan anak dan orang tua, hubungan seseorang dengan
sahabat-sahabatnya, pertentangan batin seseorang, hingga hubungan murid dengan
gurunya. Semua dikemas dalam potret kehidupan pondok. Hal yang dapat saya tarik
sebagai penikmat adalah cara pandang masyarakat umum memang demikian sempit
terhadap pondok. Melalui simbol Alif, dapat saya tangkap bagaimana dia
memandang suatu pondok. Demikian juga yang saya temui di dunia nyata. Sekolah
berjalur agama selalu diidentikkan dengan kata kolot, kuno, dan tidak
bergengsi. Hal inilah yang ingin ditepis oleh penggagas film tersebut.
Secara garis besar film ini memberi
inspirasi yang positif bagi kita. Terlepas dari kisah Alif dan sekawanannya,
mantra man jadda wajada yang diusung,
cukup membuat film ini berisi. Melihat film ini menjadikan memori saya berputar
pada masa-masa sekolah. Mengingatkan saya pada kedua orang tua saya di rumah.
Guru-guru saya dari TK, SD, SMP, SMA. Sahabat-sahabat saya yang kini juga
berjuang untuk ‘menara’ mereka masing-masing. Kisah hidup. Perjuangan. Saya
juga sedikit teringat pada Ikal dan Lintang.