Enam
belas tahun mengalokasikan waktu saya di dunia pendidikan, rasanya cukup layak
jika saya ini menamakan diri saya sebagai insan pendidikan. Saya masuk Taman
Kanak-kanak pada usia empat tahun kemudian masuk SD sekitar 6,5 tahun, hingga
saat ini saya kuliah di Jurusan Sastra Indonesia semester lima dengan usia 20
tahun. Dalam rentang waktu sekian banyak tentu banyak pula hal yang saya alami.
Dari hal yang menyenangkan, menyebalkan hingga hal yang menyesatkan.
Ketika
kita bersekolah, sudah barang tentu
ujian menjadi hal yang terpenting. Mengapa demikian? Karena menurut saya Ujian
adalah proses eksekusi dari sistem persekolahan. Mau kita sepinter apapun
sehari-hari, sekritis apapun, serajin apapun jika tidak lulus ujian itu sama
saja bohong. Jadi bisa saya katakana esensi dari sekolah adalah ujian, meski
hal ini sering ditentang oleh orang, tapi itulah yang ada.
Masih
membekas ketika saya SD, bagaimana guru-guru dan orangtua sedemikian khawatir
dengan prosesi ujian anaknya. Berbagai bekal, baik pematangan materi ujian dan
mental dilakukan agar kita[murid] bisa lancar saat menhadapi Ujian Nasional.
Anak kelas 6 seolah seperti anak emas. Jam tambahan pun juga kita dapat, untuk
mendapatkan bekal yang cukup. Padahal yang saya rasakan saat itu adalah bosan
tingkat tower. Bagaimana tidak, saya masuk seklolah pukul tujuh pagi, kemudian
pulang pukul setengah satu, istirahat setengah jam lalu mulai belajar lagi
hingga pukul tiga sore. Dan budaya seperti ini saya dapat sampai SMA. Tiap
Ujian Nasional digelar ritme yang hamper sama selalu saya dapatkan. Dan dari
semua perjuangan hebat itu, di belahan dunia pendidikan nan jauh di atas sana
Indonesia masih juga menempati posisi ngesot alias peringkat bawah.
Kita
dituntut mati-matian untuk menigkatkan NUN dengan berbagai upaya termasuk cara
yang kurang terpuji. Sudah bukan rahasia jika kecurangan dalam ujian sudah jadi
budaya yang mungkin jika cara pandang kita terhadap pendidikan tidak dirubah
akan terus terjadi. Saya rasa bukan hal baru contekan itu menjadi pemandangan
yang lumrah saat ujian. Jika saya ditanya, kenapa saya mencontek, akan saya
jawab karena kalau saya tidak nyontek saya takut tidak mencapai standar minimum
dan tidak lulus ujian. Itulah cara pandang seorang siswa karena dintutut dan
dihimpit oleh keadaan. Disisi lain kita dituntut untuk jujur dalam ujian tetapi
di belahan dunia lain standar yang tinggi dan nama baik terus menjadi proiritas.
Jika kita semua siswa benar-benar jujur ketika ujian, saya yakin menteri
pendidikan akan pusing tujuh keliling saat hasil ujian keluar.
Saya
beberapa kali menghadapi Ujian Nasional dan anehnya saya lebih merasakan
kompetisi yang lebih murni ketika ulangan harian biasa atau kuis dibanding Ujian
Nasional. Sudah bukan hal baru jika di belakang banyak yang bilang kalau Ujian
Nasional itu hanya formalitas, faktor penentu nilainya bukan lagi kecanggihan
otak, tapi faktor keberuntungan. Lalu kenapa Ujian Nasional itu masih
diselenggarakan?
Perbedaan
mencolok saya rasakan saat saya kuliah. Telah kita ketahui bersama di kurikulum
perkuliahan tidak ada yang namanya Ujian Nasional. Adanya Ujian Akhir. Dengan sistem
kredit semester, tentu sangat berbeda dengan kurikulum SD, SMP dan SMA. Jangan
heran kalau mahasiswa tidak begitu lebay jika tidak lulus ujian atau nilainya
ujiannya tidak bagus. Karena Ujian digelar step demi step sessuai mata kuliah.
Tidak pukul rata seperti prosesi Ujian Sekolah. Nilai yang mahasiswa dapat pun
dipertimbangkan dari berbagai sisi. Tidak dari sisi Ujian Akhir saja. Jadi
setelah saya mahasiswa, ternyata pencapaian kelulusan itu tidak begitu
menyeramkan. Sistem pendidikannya lebih mengerucut dan tentunya lebih membuat
kita fokus. Sambil merenungkan hal-hal yang kurang jelas, saya sempat berpikir,
betapa enaknya jika Sekolah disistem sks seperti ini sejak dulu? Betapa enaknya
jika cara pikir kita terhadap sekolah itu dirubah. Kelulusan tak harus jadi
tuntutan. Yang tidak lulus bukan berarti bodoh tetapi karena belum waktunya.
Bukankah lulus karena curang itu adalah lulus yang dipaksakan? Semoga ini bisa
jadi renungan.
0 komentar:
Posting Komentar