Sabtu, 24 Desember 2011

Ujian Nasional, Masihkah Perlu Diselenggarakan?



            Enam belas tahun mengalokasikan waktu saya di dunia pendidikan, rasanya cukup layak jika saya ini menamakan diri saya sebagai insan pendidikan. Saya masuk Taman Kanak-kanak pada usia empat tahun kemudian masuk SD sekitar 6,5 tahun, hingga saat ini saya kuliah di Jurusan Sastra Indonesia semester lima dengan usia 20 tahun. Dalam rentang waktu sekian banyak tentu banyak pula hal yang saya alami. Dari hal yang menyenangkan, menyebalkan hingga hal yang menyesatkan.
            Ketika kita  bersekolah, sudah barang tentu ujian menjadi hal yang terpenting. Mengapa demikian? Karena menurut saya Ujian adalah proses eksekusi dari sistem persekolahan. Mau kita sepinter apapun sehari-hari, sekritis apapun, serajin apapun jika tidak lulus ujian itu sama saja bohong. Jadi bisa saya katakana esensi dari sekolah adalah ujian, meski hal ini sering ditentang oleh orang, tapi itulah yang ada.
            Masih membekas ketika saya SD, bagaimana guru-guru dan orangtua sedemikian khawatir dengan prosesi ujian anaknya. Berbagai bekal, baik pematangan materi ujian dan mental dilakukan agar kita[murid] bisa lancar saat menhadapi Ujian Nasional. Anak kelas 6 seolah seperti anak emas. Jam tambahan pun juga kita dapat, untuk mendapatkan bekal yang cukup. Padahal yang saya rasakan saat itu adalah bosan tingkat tower. Bagaimana tidak, saya masuk seklolah pukul tujuh pagi, kemudian pulang pukul setengah satu, istirahat setengah jam lalu mulai belajar lagi hingga pukul tiga sore. Dan budaya seperti ini saya dapat sampai SMA. Tiap Ujian Nasional digelar ritme yang hamper sama selalu saya dapatkan. Dan dari semua perjuangan hebat itu, di belahan dunia pendidikan nan jauh di atas sana Indonesia masih juga menempati posisi ngesot alias peringkat bawah.
            Kita dituntut mati-matian untuk menigkatkan NUN dengan berbagai upaya termasuk cara yang kurang terpuji. Sudah bukan rahasia jika kecurangan dalam ujian sudah jadi budaya yang mungkin jika cara pandang kita terhadap pendidikan tidak dirubah akan terus terjadi. Saya rasa bukan hal baru contekan itu menjadi pemandangan yang lumrah saat ujian. Jika saya ditanya, kenapa saya mencontek, akan saya jawab karena kalau saya tidak nyontek saya takut tidak mencapai standar minimum dan tidak lulus ujian. Itulah cara pandang seorang siswa karena dintutut dan dihimpit oleh keadaan. Disisi lain kita dituntut untuk jujur dalam ujian tetapi di belahan dunia lain standar yang tinggi dan nama baik terus menjadi proiritas. Jika kita semua siswa benar-benar jujur ketika ujian, saya yakin menteri pendidikan akan pusing tujuh keliling saat hasil ujian keluar.
            Saya beberapa kali menghadapi Ujian Nasional dan anehnya saya lebih merasakan kompetisi yang lebih murni ketika ulangan harian biasa atau kuis dibanding Ujian Nasional. Sudah bukan hal baru jika di belakang banyak yang bilang kalau Ujian Nasional itu hanya formalitas, faktor penentu nilainya bukan lagi kecanggihan otak, tapi faktor keberuntungan. Lalu kenapa Ujian Nasional itu masih diselenggarakan?
            Perbedaan mencolok saya rasakan saat saya kuliah. Telah kita ketahui bersama di kurikulum perkuliahan tidak ada yang namanya Ujian Nasional. Adanya Ujian Akhir. Dengan sistem kredit semester, tentu sangat berbeda dengan kurikulum SD, SMP dan SMA. Jangan heran kalau mahasiswa tidak begitu lebay jika tidak lulus ujian atau nilainya ujiannya tidak bagus. Karena Ujian digelar step demi step sessuai mata kuliah. Tidak pukul rata seperti prosesi Ujian Sekolah. Nilai yang mahasiswa dapat pun dipertimbangkan dari berbagai sisi. Tidak dari sisi Ujian Akhir saja. Jadi setelah saya mahasiswa, ternyata pencapaian kelulusan itu tidak begitu menyeramkan. Sistem pendidikannya lebih mengerucut dan tentunya lebih membuat kita fokus. Sambil merenungkan hal-hal yang kurang jelas, saya sempat berpikir, betapa enaknya jika Sekolah disistem sks seperti ini sejak dulu? Betapa enaknya jika cara pikir kita terhadap sekolah itu dirubah. Kelulusan tak harus jadi tuntutan. Yang tidak lulus bukan berarti bodoh tetapi karena belum waktunya. Bukankah lulus karena curang itu adalah lulus yang dipaksakan? Semoga ini bisa jadi renungan.

0 komentar:

Posting Komentar