Kamis, 08 Maret 2012

Menikmati Negeri 5 Menara


Lagi-lagi dunia perfilman mengadaptasi novel sebagai naskahnya. Setelah Andrea Hirata yang karyanya mencuat di ranah perfilman, kali ini giliran penulis novel best seller Negeri 5 Menara, Ahmad Fuadi (mantan wartawan majalah Tempo dan VOA). Beberapa waktu lalu novel ini menggegerkan kurang lebih 9 produser film. Hingga akhirnya film tersebut diproduseri oleh Aoura Lovenson Chandra, Dinna Jasanti Dan Salman Aristo(filmografi Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, Garuda di Dadaku, dan beberapa film Indonesia lainnya). Salman Aristo juga berperan dalam penulisan skenario film berlatar pondok ini. Selain sentuhan insan perfilman handal di atas, film bergenre drama tersebut disutradarai oleh Affandi Abdul Rahman (sutradara film Pencarian Terakhir).
            Sedikit cerita, jauh sebelum novel Negeri 5 Menara diwacanakan akan diadaptasi menjadi sebuah film, teman saya, salah seorang penggiat di dunia kepenulisan sempat memberi informasi mengenai novel tersebut pada saya. Dia bercerita panjang lebar, yang intinya novel Negeri 5 Menara ini mempunyai kemiripan benang merah dengan novel Laskar Pelangi. Perbedaan yang mencolok hanya di sisi latar. Jika Laskar Pelangi mengambil latar sekolah Islam reguler yang akan musnah, Negeri 5 Menara berlatar pondok . Setelah beberapa waktu, beberapa media online ramai membicarakan novel ini. Usut punya usut novel cetakan 2009 itu difilmkan. Kebetulan beberapa rekan saya pun mengajak menonton film tersebut. Alhasil muncullah sebuah suspensi dan berujung pada tanda tanya besar tentang film adaptasi itu.
            Negeri 5 Menara, mengisahkan seorang remaja laki-laki bernama Alif. Alif berasal dari tanah Minangkabau. Lulus dari SMP, Alif dipaksa oleh orangtuanya untuk menimba ilmu di sebuah pondok. Pondok Madani namanya. Alif mengiyakan perintah tersebut dengan kemelut yang luar bisasa di hatinya. Maklum, Alif sebetulnya tak ingin bersekolah di Pondok. Dia ingin sekolah di SMA di Bandung seperti sahabat karibnya, Randai. Kelak, dia pun ingin masuk ITB, seperti Pak Habibie. Namun, kemelut dahsyat itu lenyap oleh keinginan gigih orangtua Alif. Dia berangkat ke Jawa Timur. Lalu, bersekolah di pondok Madani.
            Dari sinilah berbagai kisah yang menginspirasi dimulai. Alif berkenalan dengan berbagai manusia dari berbagai daerah asal. Di hari-hari pertama masuk pondok, Alif dipertemukan dengan para sahabatnya melalui hukuman jewer berantai. Sahabat-sahabat itu adalah Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Basa dari Gowa.
            Negeri 5 Menara identik dengan mantera man jadda wajada. Mantera ini didoktrinkan oleh ustad Salman. Artinya siapa yang bersungguh-sungguh dialah yang akan menuai kesuksesan. Ustad Salman, menyampaikan pesan itu menggunakan sebilah pedang tumpul berkarat dan sebatang kayu. Sang ustad memotong kayu tersebut di depan murid-muridnya. Seketika anak didiknya terheran-heran pada tingkah gurunya. Ustad Salman terus-menerus mencoba mematahkan kayu itu dengan pedang. Hingga keringatnya bercucuran dan napasnya terengah-engah. Setelah kayu itu patah, ustad Salman berucap, “Bukan yang paling tajam, tapi yang paling bersungguh-sungguh. Man jadda wajada!”. Serentak para murid terpana. Kemudian ruangan itu bergemuruh. Mengumandangkan mantera sakti.
Hampir setiap hari di waktu istirahat mereka (Alif dan teman-temannya) nongkrong di bawah menara masjid yang ada di Pondok Madani. Hal ini membuat sekawanan itu dijuluki Sahibul Menara (Pemelik Menara). Suatu hari sambil istirahat, mereka berbincang tentang impian mereka masing-masing. Dalam bayangan mereka, awan-awan yang menghampar di langit berubah menjadi tempat-tempat yang ingin mereka tuju kelak. Tempat-tempat itu punya menaranya masing-masing. Dan dalam hemat mereka kelak mereka harus menakhlukkan ‘menara’ mereka masing-masing.
Dengan tekad yang gigih, sekawanan itu terus membuat berbagai kemajuan di bidangnya masing-masing. Berbagai hal besar mereka lakukan di pondok Madani. Mereka sangat kompak. Namun, hal itu masih saja membuat Alif setengah hati berada di sana. Alif masih berkeinginan sekolah di Bandung, menyusul kawannya. Hingga suatu hari kegalauan Alif memuncak. Setelah Basa harus berhenti dari pondok sebab neneknya di Gowa tengah jompo dan tidak ada yang mengurusi.
Alif kemudian teringat pada cita-citanya yakni ingin sekolah di sekolah non agama. Dia terus teringat pada surat-surat Randai yang menceritakan asiknya sekolah di sekolah biasa. Alif sempat ingin meninggalkan pondok tersebut. Meminta Amak dan Ayahnya untuk menguruskan surat pindah dan prosedur ujian kesetaraan. Para sahabatnya tentu saja marah pada Alif. Meski sempat membujuk Alif untuk tetap tinggal, namun rasa kecewa tetap tak dapat dienyahkan. Tingkah sahabatnya itu membuat Alif berpikir keras. Perang batin berkecamuk dalam hatinya. Dia mengingat berapa banyak podok tersebut memberinya pengalamn berharga. Bertemu dengan orang-orang hebat. Bertemu dengan kawan-kawan yang baik. Bertemu dengan mantera sakti man jadda wajada. Kecamuk itu terus menghantuinya, hingga dia memutuskan untuk tetap tinggal. Di akhir cerita, Alif dan para sahabatnya tengah sukses menggelar pementasan drama. Beberapa tahun kemudian, Alif dan para sahabatnya berhasil menakhlukkan ‘menara’ mereka masing-masing.
Demikianlah, kisah singkat dari film Negeri 5 Menara. Film tersebut sebetulnya mempunyai kisah yang sangat kompleks. Mulai dari hubungan anak dan orang tua, hubungan seseorang dengan sahabat-sahabatnya, pertentangan batin seseorang, hingga hubungan murid dengan gurunya. Semua dikemas dalam potret kehidupan pondok. Hal yang dapat saya tarik sebagai penikmat adalah cara pandang masyarakat umum memang demikian sempit terhadap pondok. Melalui simbol Alif, dapat saya tangkap bagaimana dia memandang suatu pondok. Demikian juga yang saya temui di dunia nyata. Sekolah berjalur agama selalu diidentikkan dengan kata kolot, kuno, dan tidak bergengsi. Hal inilah yang ingin ditepis oleh penggagas film tersebut.
Secara garis besar film ini memberi inspirasi yang positif bagi kita. Terlepas dari kisah Alif dan sekawanannya, mantra man jadda wajada yang diusung, cukup membuat film ini berisi. Melihat film ini menjadikan memori saya berputar pada masa-masa sekolah. Mengingatkan saya pada kedua orang tua saya di rumah. Guru-guru saya dari TK, SD, SMP, SMA. Sahabat-sahabat saya yang kini juga berjuang untuk ‘menara’ mereka masing-masing. Kisah hidup. Perjuangan. Saya juga sedikit teringat pada Ikal dan Lintang.

5 komentar: