This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 02 April 2012

Madre, Lebih dari Sekedar Biang


Pertengahan tahun 2011 lalu, Dewi Lestari atau lebih dikenal dengan nama pena Dee, kembali menelurkan karyanya. Kali ini Dee memberi judul Madre pada karya fiksi ke tujuhnya. Bagi yang mengerti bahasa Spanyol, mungkin akan tertipu dengan kumpulan cerita lima tahun terakhir Dee ini. Secara etimologis Madre berasal dari bahasa Spanyol yang artinya Ibu. Dengan judul tersebut, bisa diprediksi akan banyak orang berasumsi bahwa cerita ini mengisahkan tentang sosok Ibu. Namun, setelah mengetahui isinya, akan nampak tipuan Dee yang justru menjadi surprise bagi para pembaca.
Ternyata, Madre adalah nama dari biang roti. Sebelum ada ragi instan, biang roti merupakan bahan pengembang untuk roti. Uniknya lagi, Madre dalam cerita tersebut bukanlah berperan sebagai latar atau pelengkap saja. Madre adalah tokoh. Tokoh utama setelah Tansen. Mengapa demikian? Sebab Madre-lah yang menjadi penyebab segala kejadian, peristiwa, hingga konflik dalam cerita tersebut.
Novelet yang dijadikan masterpis dalam buku kumpulan cerita Dee ini menceritakan tentang perjalanan hidup seorang pemuda, bernama Tansen. Hidupnya berubah 180 derajat gara-gara se-toples microbacteri yaitu Madre. Awalnya Tansen dikejutkan dengan pemakaman seorang kakek tua bersuku Tionghoa yang harus dihadirinya. Yang membuatnya meninggalkan pekerjaan serabutannya di Bali. Kemudian, kejutan demi kejutan dia temui usai pemakaman kakek keturunan Tionghoa di Jakarta itu.
Kejutan pertama adalah, almarhum kakek tua tersebut mencantumkan Tansen sebagai ahli warisnya. Lewat pengacara beliau, Tansen diberi amplop yang berisi wasiat. Wasiat tersebut ternyata adalah sebuah kunci dan secarik kertas betuliskan alamat suatu tempat. Lalu Tansen mendatangi alamat yang tercantum dalam wasiat itu. Di sana ada seorang kakek tua pula, bernama Pak Hadi. Atas bantuan Pak Hadi diketahulah bahwa ternyata kunci yang dipegang Tansen adalah kunci dari sebuah kulkas.
Tansen seketika itu bingung setengah mati. Kebingungannya makin menjadi saat kulkas tersebut dibuka. Di dalamnya ada satu toples besar berisi cairan putih keruh, dia adalah Madre. Meskipun hanya biang, Madre diperlakukan sangat manusiawi. Madre memang hidup. Bahkan lebih lama dari yang membuatnya, yaitu Laskhmi, nenek Tansen.
Madre berusia 70 tahun, dia lahir di tahun 1941 lewat tangan nenek Tansen. Dan orang yang dimakamkan itu, yakni Pak Tan, tidak lain dan tidak bukan adalah kakek dari Tansen. Parahnya, selama hidup Tansen tidak pernah tahu akan hal tersebut. Madre kemudian memaksa Tansen untuk menjadi seorang pembisnis roti. Toko roti peninggalan kakeknya telah mati suri. Sang kakek yang bernama Tan, percaya bahwa Tansen kelak bisa menghidupkan kembali usahanya.
Tansen tentu menolak keras warisan itu. Dia bahkan sempat berpikir untuk menjual Madre. Namun, ketika 5 orang Bakker tua datang ke toko dan melakukan upacara perpisahan untuk Madre, Tansen berubah pikiran. Sejak hari itu kehadiran Madre begitu membawa arti bagi Tansen. Madre mempertemukannya dengan silsilah hidupnya, keluarga barunya, pekerjaannya, dan cintanya, yaitu Mei, orang yang berniat membeli Madre dari Tansen.
Senada dengan Tansen yang menilai Madre sedemikian berarti, saya juga berpendapat bahwa Madre begitu luar biasa. Madre lebih dari sekedar biang. Madre lebih dari sekedar cerita. Madre adalah seorang tokoh sekaligus akar dari kisah yang disajikan Dee. Seperti biasa, Dee selalu menembak tema yang ringan bahkan sepele, kemudian memadupadankan tema itu dengan berbagai sub tema. Namun, ringgannya tema yang dibidik bukan berarti menjadikan cerita ini tanpa isi. Justru tema kecil itu mampu menghasilkan isi yang kaya dan kompleks. Warna-warna yang timbul dari cerita tersebut sangat beragam. Mulai budaya, ilmu pengetahuan alam, ilmu bisnis, ilmu tataboga, nilai sosial, gaya hidup, dan cinta. Semua aspek tersebut diracik dan dikemas secara menarik. Dengan konflik-konflik yang alami. Tanpa ada kesan memaksa.
Warna budaya yang ditampilka melalui Madre adalah budaya Tionghoa dan India. Lewat kisah tersebut, Dee memberi pengetahuan mengenai dua kebudayaan yang sama kuat. Bahkan dia mencoba menyatukan keduanya melalui pernikahan Tan Sie Gie dan Lakshmi, si kakek dan nenek Tansen. Dalam budaya Cina dan India jaman dulu, menikahi orang yang bukan rasnya memang dilarang keras. Bagi mereka yang berani melakukannya, maka akan mendapat kutukan. Ketika menikahi Lakshmi, Tan Sie Gie diusir dari rumah dan tidak diakui lagi menjadi bagian keluarganya, demikian dengan Lakshmi. Lakshmi kemudian melahirkan Ibu Tansen, Kartika. Lalu dia meninggal. Kartika juga meninggal beberapa waktu setelah melahirkan Tansen. Hal itu tentu menyiratkan keampuhan tradisi pada masa lampau. Melanggar tradisi memang selalu berbuah akibat. Entah itu disadari atau tidak.
Di luar itu saya menemukan alasan lain mengapa Dee memilih latar belakang India sebagai ras nenek Tansen. Bukan Belanda, Paris, Swiss atau negara Eropa lain yang biasa dipandang masyarakat lebih identik dengan antah berantah dunia roti. Karena sebetulnya, roti yang berkembang di Indonesia itu pertama kali dibawa oleh orang India. Bukan Belanda ataupun yang lainnya. Bangsa India-lah yang memperkenalkan roti pada bangsa Indonesia, ketika berdagang.
Kemudian untuk menyampaikan kentalnya warna bisnis dalam cerita tersebut, Dee menampilkan ras Tionghoa. Sebuah bidikan yang tepat. Telah banyak diketahui bahwa orang-orang bisnis di Indonesia mayoritas adalah orang Cina. Melalui toko roti Tan De Bakker, Dee mencoba menghadirkan dua ras dengan latar belakang budaya yang kontras dalam satu kesatuan. Toko yang diolah oleh Tan Sin Gie, orang Cina dan rotinya dibuat oleh Lakshmi, orang India.
Warna dunia bisnis makin terasa ketika tokoh Mei dimunculkan. Mei adalah pengelola toko roti modern, Fairy Bread. Atas bantuan Mei-lah Tan de Bakker berubah nama menjadi Tansen de Bakker. Tan de Bakker yang mati suri dihidupkan kembali oleh Tansen, Pak Hadi, Mei dan pengabdi Tan de Bakker lainnya. Dalam upaya penghidupan itulah tersirat aroma bisnis yang menawan. Dari permodalan hingga managemen bisnis, tertuang dalam cerita.
Berhubung Madre sendiri adalah sebuah mikroba, khayal rasanya jika sentuhan ilmu pengetahuan tidak diikutsertakan. Membaca Madre memberi saya stimulus untuk mengingat-ingat pelajaran kelas 1 SMA, ketika ditugasi guru untuk membuat nata de coco. Meski berbeda ternyata pada prinsipnya sama. Membuat biang juga butuh kesabaran dalam ujicoba mengombinasikan fermentasi bahan untuk menghasilkan biang yang berkualitas. Biang dapat bertahan berpuluh tahun bahkan ratusan tahun jika dirawat dengan benar. Seperti mahluk hidup lainnya, Madre diberi makan. Dia pun juga punya instink. Karena dia juga hidup. Jika Hachiko si anjing setia dari Jepang memilih Isabura Ueno sebagai tuannya, maka Madre juga demikian. Dia memilih Tansen sebagai tuannya. Untuk itulah Madre sangat dimanusiakan oleh orang-orang Tan de Bakker yaitu Pak Hadi, Bu Sum, Bu Dedeh, Pak Joko, dan Bu Cory.
Selain warna-warna di atas, tak lengkap rasanya jika sebuah cerita tidak dihiasi dengan sebuah kisah cinta. Karena itulah Dee memunculkan Mei sebagai pemikat hati Tansen. Tansen mulai jatuh cinta pada Mei ketika  Mei menyadarkannya bahwa Madre sangat berarti. Selain Pak Hadi, Mei adalah orang yang menahan Tansen untuk tetap menjalani hidup yang tak disukainya di Jakarta. Melalui hal-hal yang dialaminya bersama Mei, ternyata mambuat hati Tansen luluh. Terlebih toko roti mereka bekerjasama. Dukungan cinta Mei membuat Tansen bertekad untuk meneruskan bisnis almarhum kakeknya. Tansen bahkan mencoba membuat biang baru dari fermentasi nanas, yang dinamai Padre.
Jika ditarik kesimpulan, warna-warna di atas merupakan penggambaran latar yang muncul karena keberadaan Madre. Membaca kisah ini memberi banyak pelajaran terhadap diri saya. Mulai budaya hingga ilmu pengetahuan bahkan juga cinta. Dee menyampaikan semua itu dengan bahasa yang ringan. Dengan berbagai surprise lewat tokoh dan konflik yang mereka alami. Madre begitu hidup dan penuh keberagaman nilai didalamnya.

Sabtu, 10 Maret 2012

Pengrajin Senik Andalkan Transaksi Gaib


Ketika kecil, sekitar tahun 1990-an, di daerah saya tepatnya di Dukuh Turus, Desa Purwosari, Magetan, banyak ditemui pengrajin senik. Senik adalah sejenis kerajinan dari bambu, yang biasanya digunakan sebagai wadah sesuatu. Seperti bakul namun ukurannya besar. Berdiameter 30 cm hingga 40 cm. Berkat kerajinan inilah desa saya (ketika itu) banyak didatangi distributor atau pengepul senik. Bahkan para pengrajin dan distributor tersebut hampir memenuhi area pasar tradisonal di desa saya. Saat itu pengrajin-pengrajin senik setidaknya bisa menjadikan karya mereka sebagai tumpuan untuk mengais pundi-pundi rupiah. 
Akan tetapi, kini cerita tinggalah cerita. Semenjak pasar tradisional Purwosari diperbaiki, lahan jual beli mereka tergusur oleh bangunan-bangunan pertokoan. Sesekali masih ada pengrajin dan pengepul yang mewarnai pasar. Namun seiring bertambahnya waktu tiada lagi pengrajin dan pengepul yang tawar-menawar di pasar desa Purwosari.
Transaksi gaiblah yang dilakoni pengrajin senik hingga saat ini. Saya menyebutnya sebagai transaksi gaib, karena transaksi ini muncul dan hilang secara tiba-tiba. Tempatnya tak lagi di area pasar. Namun di perempatan kecil utara pasar. Tepat di sebelah utara rumah saya. Biasanya mereka mulai bernegosiasi pukul 04.00 WIB dan menyelesaikannya pada pukul 06.30 WIB. Pasar kecil-kecilan nan nyentrik ini sebetulnya tidak begitu mendatangkan keuntungan bagi para pengrajin. Pertimbangan tradisi dan untuk mendulang tambahan uang menjadi pendorong eksisnya prosesi ini.
Pengrajin senik yang tidak sebanyak dulu membuat pengepul kelabakan. Pengrajin-pengrajin tersebut lebih memilih pekerjaan lain yang menurut mereka pendapatannya sesuai. Alhasil, kini pengrajin senik yang ada di desa saya tinggal orang-orang lansia yang tenaganya sudah sangat minim. Jika ini dibiarkan maka tidak ada regenerasi dan senik akan punah. Padahal menurut keterangan Bapak Saimin, salah satu pengrajin senik yang pernah merantau ke Lampung. Di Lampung peminat senik sangat luar biasa. “Kalau di sini senik hanya Rp. 8000,00-Rp. 10.000,00 di sana harganya bisa Rp. 25.000,00 kadang juga lebih”, terang beliau.
Dari keterangan tersebut, sebetulnya senik masih menyimpan potensi untuk dipasarkan. Dengan metode pemasaran yang tertata, mungkin senik akan kembali laris seperti sedia kala. Pengrajin-pengrajin tersebut bisa menurunkan ilmu membuat senik pada anak cucunya. Sehingga minimal, kerajinan asli Indonesia seperti ini dapat lestari sekaligus menyokong perekonomian masyarakat.

Kamis, 08 Maret 2012

Sensasi Horor Mie Setan


Sudah bukan hal baru jika kota Malang dinilai sebagai salah satu wilayah potensial di Jawa Timur. Berbagai kekayaan yang dimilikinya, menjadikan Malang semakin berjaya. Salah satu kekayaan tersebut adalah keberagaman kulinernya. Sudah lumrah jika Malang diidentikkan dengan bakso. Namun, ada ragam kuliner baru dari kota bunga ini, yang menantang untuk dijajaki. “Mie Setan”, demikian makanan ini dinamai.
            Mie sensasional itu terletak di jalan Bromo nomor 1A, Malang. Dari namanya saja sudah tercium kesan unik yang membuat kepala penuh tanda tanya. Mie tersebut diberi nama “Mie Setan” karena bumbu cabainya yang membuat penikmat kesetanan. Mengunjungi tempat ini memang memberi berbagai sensasi, tak hanya indikasi kesetanan gara-gara pedasnya. Tetapi prosesi untuk mendapatkannya juga merupakan sensasi tersendiri.
Sensasi pertama adalah panjangnya antrian untuk memesan menu. Menu yang ditawarkan pun sangat horor. Mie yang berlabel setan tersebut, disajikan dengan berbagai level sesuai jumlah cabainya. Level satu dengan cabai 12 biji. Level dua dengan cabai 24 cabai. Level tiga dengan 35 cabai. Level empat dengan 45 cabai, serta level 5 dengan 60 cabai. Bisa terbayang betapa horornya mie ini. Menu minumannya juga dikemas dengan nuansa misteri. Yakni es Pocong, es Genderuwo, es Kuntilanak, es Sundel Bolong dan es Tuyul.
Tahap berikutnya adalah kesulitan untuk mendapat tempat duduk. Ramainya pengunjung membuat tempat ini penuh sesak oleh manusia “kesetanan”. Akan tetapi, kita tidak perlu khawatir, para pramuniaga sangat kooperatif untuk mengusahakan customer agar tidak terlalu lama berdiri.
Setelah mendapat tempat duduk, jangan harap sensasi akan berakhir. Sesudah itu, kita akan dihadapkan pada penantian lagi untuk proses pemasakan menu yang telah kita pesan. Namun jangan khawatir, nuansa yang asik akan memanjakan kita di sana.
Klimaks dari berburu kuliner ini ialah ketika menyantap “Mie Setan” itu sendiri. Bagi yang suka tantangan tak ada salahnya mencoba berbagai level yang disajikan. Jangan kaget jika level-level tersebut membuat lidah bergetar, telinga panas, air mata bercucuran, dan perut bergejolak. Justru itulah sensasi horornya.
“Ini level dua, saya masih santai. Tapi sebelumnya saya pernah mencoba level empat dan rasanya saya seperti terpental entah ke mana”, ungkap Nuri, salah satu penggemar “Mie Setan”. 
            Bagi yang tidak suka tantangan atau yang bermasalah dengan cita rasa pedas, di sana juga tersedia mie tanpa cabai yang dinamai “Mie Angel”, lawan dari “Mie Setan”. Konsep unik ini memang merupakan magnet bagi makanan tersebut. Tempat ini dibuka pada pukul 15.00 WIB. Untuk  penggemar kuliner, “Mie Setan” merupakan makanan yang layak dijadikan referensi jika hendak berkunjung ke Malang.

Menikmati Negeri 5 Menara


Lagi-lagi dunia perfilman mengadaptasi novel sebagai naskahnya. Setelah Andrea Hirata yang karyanya mencuat di ranah perfilman, kali ini giliran penulis novel best seller Negeri 5 Menara, Ahmad Fuadi (mantan wartawan majalah Tempo dan VOA). Beberapa waktu lalu novel ini menggegerkan kurang lebih 9 produser film. Hingga akhirnya film tersebut diproduseri oleh Aoura Lovenson Chandra, Dinna Jasanti Dan Salman Aristo(filmografi Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, Garuda di Dadaku, dan beberapa film Indonesia lainnya). Salman Aristo juga berperan dalam penulisan skenario film berlatar pondok ini. Selain sentuhan insan perfilman handal di atas, film bergenre drama tersebut disutradarai oleh Affandi Abdul Rahman (sutradara film Pencarian Terakhir).
            Sedikit cerita, jauh sebelum novel Negeri 5 Menara diwacanakan akan diadaptasi menjadi sebuah film, teman saya, salah seorang penggiat di dunia kepenulisan sempat memberi informasi mengenai novel tersebut pada saya. Dia bercerita panjang lebar, yang intinya novel Negeri 5 Menara ini mempunyai kemiripan benang merah dengan novel Laskar Pelangi. Perbedaan yang mencolok hanya di sisi latar. Jika Laskar Pelangi mengambil latar sekolah Islam reguler yang akan musnah, Negeri 5 Menara berlatar pondok . Setelah beberapa waktu, beberapa media online ramai membicarakan novel ini. Usut punya usut novel cetakan 2009 itu difilmkan. Kebetulan beberapa rekan saya pun mengajak menonton film tersebut. Alhasil muncullah sebuah suspensi dan berujung pada tanda tanya besar tentang film adaptasi itu.
            Negeri 5 Menara, mengisahkan seorang remaja laki-laki bernama Alif. Alif berasal dari tanah Minangkabau. Lulus dari SMP, Alif dipaksa oleh orangtuanya untuk menimba ilmu di sebuah pondok. Pondok Madani namanya. Alif mengiyakan perintah tersebut dengan kemelut yang luar bisasa di hatinya. Maklum, Alif sebetulnya tak ingin bersekolah di Pondok. Dia ingin sekolah di SMA di Bandung seperti sahabat karibnya, Randai. Kelak, dia pun ingin masuk ITB, seperti Pak Habibie. Namun, kemelut dahsyat itu lenyap oleh keinginan gigih orangtua Alif. Dia berangkat ke Jawa Timur. Lalu, bersekolah di pondok Madani.
            Dari sinilah berbagai kisah yang menginspirasi dimulai. Alif berkenalan dengan berbagai manusia dari berbagai daerah asal. Di hari-hari pertama masuk pondok, Alif dipertemukan dengan para sahabatnya melalui hukuman jewer berantai. Sahabat-sahabat itu adalah Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Basa dari Gowa.
            Negeri 5 Menara identik dengan mantera man jadda wajada. Mantera ini didoktrinkan oleh ustad Salman. Artinya siapa yang bersungguh-sungguh dialah yang akan menuai kesuksesan. Ustad Salman, menyampaikan pesan itu menggunakan sebilah pedang tumpul berkarat dan sebatang kayu. Sang ustad memotong kayu tersebut di depan murid-muridnya. Seketika anak didiknya terheran-heran pada tingkah gurunya. Ustad Salman terus-menerus mencoba mematahkan kayu itu dengan pedang. Hingga keringatnya bercucuran dan napasnya terengah-engah. Setelah kayu itu patah, ustad Salman berucap, “Bukan yang paling tajam, tapi yang paling bersungguh-sungguh. Man jadda wajada!”. Serentak para murid terpana. Kemudian ruangan itu bergemuruh. Mengumandangkan mantera sakti.
Hampir setiap hari di waktu istirahat mereka (Alif dan teman-temannya) nongkrong di bawah menara masjid yang ada di Pondok Madani. Hal ini membuat sekawanan itu dijuluki Sahibul Menara (Pemelik Menara). Suatu hari sambil istirahat, mereka berbincang tentang impian mereka masing-masing. Dalam bayangan mereka, awan-awan yang menghampar di langit berubah menjadi tempat-tempat yang ingin mereka tuju kelak. Tempat-tempat itu punya menaranya masing-masing. Dan dalam hemat mereka kelak mereka harus menakhlukkan ‘menara’ mereka masing-masing.
Dengan tekad yang gigih, sekawanan itu terus membuat berbagai kemajuan di bidangnya masing-masing. Berbagai hal besar mereka lakukan di pondok Madani. Mereka sangat kompak. Namun, hal itu masih saja membuat Alif setengah hati berada di sana. Alif masih berkeinginan sekolah di Bandung, menyusul kawannya. Hingga suatu hari kegalauan Alif memuncak. Setelah Basa harus berhenti dari pondok sebab neneknya di Gowa tengah jompo dan tidak ada yang mengurusi.
Alif kemudian teringat pada cita-citanya yakni ingin sekolah di sekolah non agama. Dia terus teringat pada surat-surat Randai yang menceritakan asiknya sekolah di sekolah biasa. Alif sempat ingin meninggalkan pondok tersebut. Meminta Amak dan Ayahnya untuk menguruskan surat pindah dan prosedur ujian kesetaraan. Para sahabatnya tentu saja marah pada Alif. Meski sempat membujuk Alif untuk tetap tinggal, namun rasa kecewa tetap tak dapat dienyahkan. Tingkah sahabatnya itu membuat Alif berpikir keras. Perang batin berkecamuk dalam hatinya. Dia mengingat berapa banyak podok tersebut memberinya pengalamn berharga. Bertemu dengan orang-orang hebat. Bertemu dengan kawan-kawan yang baik. Bertemu dengan mantera sakti man jadda wajada. Kecamuk itu terus menghantuinya, hingga dia memutuskan untuk tetap tinggal. Di akhir cerita, Alif dan para sahabatnya tengah sukses menggelar pementasan drama. Beberapa tahun kemudian, Alif dan para sahabatnya berhasil menakhlukkan ‘menara’ mereka masing-masing.
Demikianlah, kisah singkat dari film Negeri 5 Menara. Film tersebut sebetulnya mempunyai kisah yang sangat kompleks. Mulai dari hubungan anak dan orang tua, hubungan seseorang dengan sahabat-sahabatnya, pertentangan batin seseorang, hingga hubungan murid dengan gurunya. Semua dikemas dalam potret kehidupan pondok. Hal yang dapat saya tarik sebagai penikmat adalah cara pandang masyarakat umum memang demikian sempit terhadap pondok. Melalui simbol Alif, dapat saya tangkap bagaimana dia memandang suatu pondok. Demikian juga yang saya temui di dunia nyata. Sekolah berjalur agama selalu diidentikkan dengan kata kolot, kuno, dan tidak bergengsi. Hal inilah yang ingin ditepis oleh penggagas film tersebut.
Secara garis besar film ini memberi inspirasi yang positif bagi kita. Terlepas dari kisah Alif dan sekawanannya, mantra man jadda wajada yang diusung, cukup membuat film ini berisi. Melihat film ini menjadikan memori saya berputar pada masa-masa sekolah. Mengingatkan saya pada kedua orang tua saya di rumah. Guru-guru saya dari TK, SD, SMP, SMA. Sahabat-sahabat saya yang kini juga berjuang untuk ‘menara’ mereka masing-masing. Kisah hidup. Perjuangan. Saya juga sedikit teringat pada Ikal dan Lintang.

Kamis, 09 Februari 2012

Cinta Laura, dari Jijai hingga Terpana



        Siapa yang tidak kenal Cinta Laura Khiel. Semenjak sukses dengan jargonnya “Udah becek nggak ada ojek” yang sempat populer ketika ia bermain sinetron, namanya kian gemilang di jajaran artis remaja Indonesia.
            Melihat tingkah polahnya di layar televisi, sempat membuat saya tidak senang dengan artis ini. Logat kebarat-baratan yang dia buat terkesan hanya gaya saja. Tiap kali artis ini nongol di layar kaca, saya langsung berkomentar dengan sinis. “Duh mbak iki, gayane garai males nyawang”, demikian curcol saya sambil memindah gelombang teve.
            Berbagai perasaan buruk yang saya tudingkan pada Cinta secara sepihak ini kemudian tersingkir oleh satu hal. Dan satu hal itu membuat perasaan 180 derajat berubah padanya. Kemarin, usai kuliah, terpikir dalam benak saya untuk mampir ke perpustakaan pusat UM. Kebetulan letak perpus searah dengan jalan pulang menuju kos.
            Sampai di sana, karena sendirian, saya pergi ke lantai tiga untuk mencari novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Setelah dapat, ternyata kartu mahasiswa saya masih diblacklist oleh petugas. Bukan apa-apa, itu disebabkan karena semester lalu saya sempat cuti kuliah karena sakit.
            Menunggu kartu saya diproses, kemudian saya putuskan untuk pergi ke ruang majalah dan koran. Lalu sebuah koran berlabel Jawa Pos saya sabet dari meja dan membacanya. Jika tidak salah surat kabar itu edisi hari Selasa.
            Di sanalah saya menemukan satu artikel yang mengulas kegiatan Cinta Laura di Universitas Columbia (tempat Presiden AS, Obama, dulu berkuliah). Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa Cinta Laura merupakan mahasiswa yang sangat cerdas, multitalenta, dan aktif di organisasi kampus (jika di Indonesia, organisasi yang dia ikuti setara dengan senat). Jabatan yang disandangnya dalam organisasi adalah wakil pimpinan. Selain itu Cinta Laura juga mengambil sks di atas jumlah rata-rata. Dia mengambik tujuh mata kuliah sekaligus, sedang jumlah normal yang ditawarkan adalah lima mata kuliah.
            Selain prestasi gemilang di kancah pendidikan, karirnya juga terus menanjak. Dia membintangi salah satu film Hollywood yang berjudul The Philosopher. Tak hanya itu, kiprahnya di dunia tarik suara memikat produser Sony AS untuk mempertemukannya dengan musisi kelas dunia, Chris Brown. Cinta Laura juga tengah berduet dengan Guy Sebastian.
            Serentetan berita tersebut membuat saya tercengang. Ternyata di balik tingkah Cinta yang membuat saya enek, ada juga hal yang membanggakan. Inilah pengalaman saya dari yang super jijai dengan Cinta Laura, hingga saya yang terpana dengan prestasi gemilangnya.

Senin, 06 Februari 2012

Penelusuran Telat tentang Minggu Pagi di Victoria Park [Sebuah Apresiasi]



      
            Minggu Pagi di Victoria Park  merupakan film yang dibintangi dan disutradarai langsung oleh Lola Amaria. Sebetulnya bukan telat lagi saya bikin ulasan soal film ini, telat banget malahan. Soalnya film ini diproduksi sekitar bulan Juni 2010 lalu, kalau dihitung sudah satu setengah tahun. Saya baru kepikiran bikin ulasan, setelah tujuh kali nonton film berlatar Hongkong-Indonesia ini.
            Kisah dramatis antara dua bersaudara yaitu Mayang[Lola Amaria] dan Sekar[Titi Sjuman] membuat saya terenyuh tiap kali menontonnya. Mungkin sebagian dari kalian sudah ada yang tahu. Dalam film berdurasi 100 menit tersebut, Mayang dikisahkan mempunyai adik, yakni Sekar, yang bekerja sebagai TKW di Hongkong. Karena Sekar lama tidak pulang ke Indonesia, Mayang akhirnya diberi mandat oleh sang Ayah untuk menyusul Sekar di sana. Padahal Mayang sama sekali tidak ingin menjadi TKW. Namun karena paksaan dari Ayahnya, Mayang tak kuasa mempertahankan hak untuk memilih jalan hidup. Terlebih Sekar adalah anak kesayangan dari sang Ayah. Hal tersebut membuat Ayah mereka makin getol memaksa Mayang untuk segera menyusul Sekar.
            Melalui keberangkatan Mayang itulah semua hal besar dalam film ini saya dapatkan. Jika masih ada yang mengingat, saya pernah memposting status tentang film yang sudah mengusung satu penghargaan sebagai film dengan penyuntingan terbaik di ajang FFI 2010 ini. Tidak kurang tidak lebih seperti inilah postingan saya, ; Minggu Pagi di Victoria Park. #betapa berharganya rejeki yg udh kita dapat, meski itu cuma sesuap nasi. Berharganya sebuah kehidupan meski itu pahit. Berharganya sebuah perjuangan walaupun sulit. Berharganya sebuah keluarga meski tidak harmonis. Berharganya secuil perhatian meskipun tidak digubris.”. Status ini saya buat di facebook pada tanggal 27 November 2011 lalu. Sesuai dengan apa yang saya tuliskan, beberapa hal terbut di atas adalah pembelajaran yang saya dapat dari film bersinematografi indah garapan Yadi Sugandi tersebut.
            Poin pertama, Berharganya rejeki yang sudah kita dapat meski itu cuma sesuap nasi. Mungkin sebagian dari kita adalah orang-orang berkehidupan super beruntung, yang tidak perlu bekerja keras untuk makan dan hidup layak. Tapi tidak demikian bagi TKW yang menjadi sorotan utama dalam film ini. Di Hongkong sana, mereka bekerja keras menjadi jongos orang-orang kaya, untuk makan, untuk memperoleh gaji yang di Indonesia mengalahkan gaji Pegawai Negeri Sipil. Mereka rela diperbudak, untuk apa? Agar taraf kehidupan mereka di kampung mengalami peningkatan. Lebih tragis lagi jika TKW tersebut bernasib seperti Sekar. Dia terjerat hutang dengan pihak perkreditan di sana. Paspornya disita. Kalau sudah begitu dia akan menyandang sebutan TKW nonlegal yang menjadi buron. Otomatis, hal utama yang dialaminya adalah kesulitan mencari pekerjaan. Dia ditolak kerja di sana-sini meskipun hanya jadi pembantu. Sekar harus menyembunyikan identitasnya agar mendapatkan pekerjaan part time yang tidak perlu prosedur kerja berbelit-belit. Dari cuci piring sampai nemenin ABG tua di bar dilakoninnya cuma untuk bertahan hidup di negara orang. Semua dilakoni hanya untuk sesuap nasi.
            Poin ke dua, Berharganya sebuah kehidupan meski itu pahit. Kehidupan Sekar, dalam film tersebut digambarkan sedemikian pahitnya. Terlilit hutang di negeri orang, menjadi pengasuh orang jompo, pengasuh hewan, hingga menjadi seorang pelacur, dilakoninya untuk bertahan hidup. Dari sini dapat saya tarik benang merah, sepahit apapun hidupnya, Sekar tetap menganggap hidupnya berarti, untuk itu dia bertahan.
            Poin ke tiga, Berharganya sebuah perjuangan walaupun sulit. Menyoroti tokoh Mayang dalam film tersebut, selalu mengingatkan saya pada sebuah perjuangan. Perjuangan yang luas. Dia berjuang melawan egonya sendiri. Dia berjuang untuk melakukan apa yang tidak diinginkannya, yakni menjadi TKW. Perjuangan sulit seorang kakak untuk memaksa dirinya menyayangi adik sekaligus rival yang selalu mengalahkannya dalam hal apapun. Di sisi lain, Sekar begitu gigih berjuang demi kelangsungan hidupnya di Hongkong. Seperti yang telah saya katakan pada poin dua. Perjuangan Sekar begitu sulit.
            Poin ke empat, Berharganya sebuah keluarga meski tidak harmonis. Sekar, Mayang dan keluarganya bukanlah keluarga yang harmonis. Ayah mereka selalu membandingkan Mayang dengan Sekar. Sekar yang pernah menuai sukses sebagai TKW dianggap lebih mampu memberinya kebahagiaan, dibanding Mayang yang hanya menjadi buruh tani di kampung. Hal inilah yang membuat hubungan Mayang dengan Sekar menjadi sangat renggang. Namun, kedatangan Mayang atas paksaan Ayahnya ke Hongkong, merupakan tindakan yang mengubah keadaan itu. Untuk pertama kalinya Mayang berkorban demi adik yang dia sayangi sekaligus dia benci. Di sinilah dapat saya petik hikmah, apapun keadaan keluarga, ikatan darah tak bisa dielakkan. Dan ikatan darah itu adalah hal yang berharga sepanjang masa.
            Poin ke lima, Berharganya secuil perhatian meskipun tidak digubris. Sepanjang kisah Mayang dan Sekar, sentuhan gelora asmara adalah bumbu yang makin membuat film ini nikmat. Ketika Mayang berada di Hongkong, dia sempat berkenalang dengan Vincent. Dari awal Vincent menyukai Mayang. Namun, Mayang tidak menggubrisnya. Vincent tak menyerah, dia terus mengejar Mayang. Memberinya perhatian-perhatian kecil, meski Mayang tetap cuek dengannya. Akan tetapi, perjuangan itu tak akan sia-sia. Kesabaran Vincent mampu meluluhkan hati Mayang. Di penghujung cerita, mereka menjadi insan yang saling mencintai.
            Demikianlah, beberapa hal yang mampu saya tangkap dari film tersebut. Sebetulnya, film-film kita tidak selamanya jadi produk gagal. Jika kita mau menyelami lebih dalam, film-film kita tidak kalah potensi dengan film-film luar negeri. Di tengah menyeruaknya film horor yang tidak jelas jluntrungannya, Minggu Pagi di Victoria Park membuat saya jatuh cinta lagi dengan film Indonesia, kecuali horor porno tentunya.

Sabtu, 24 Desember 2011

Ujian Nasional, Masihkah Perlu Diselenggarakan?



            Enam belas tahun mengalokasikan waktu saya di dunia pendidikan, rasanya cukup layak jika saya ini menamakan diri saya sebagai insan pendidikan. Saya masuk Taman Kanak-kanak pada usia empat tahun kemudian masuk SD sekitar 6,5 tahun, hingga saat ini saya kuliah di Jurusan Sastra Indonesia semester lima dengan usia 20 tahun. Dalam rentang waktu sekian banyak tentu banyak pula hal yang saya alami. Dari hal yang menyenangkan, menyebalkan hingga hal yang menyesatkan.
            Ketika kita  bersekolah, sudah barang tentu ujian menjadi hal yang terpenting. Mengapa demikian? Karena menurut saya Ujian adalah proses eksekusi dari sistem persekolahan. Mau kita sepinter apapun sehari-hari, sekritis apapun, serajin apapun jika tidak lulus ujian itu sama saja bohong. Jadi bisa saya katakana esensi dari sekolah adalah ujian, meski hal ini sering ditentang oleh orang, tapi itulah yang ada.
            Masih membekas ketika saya SD, bagaimana guru-guru dan orangtua sedemikian khawatir dengan prosesi ujian anaknya. Berbagai bekal, baik pematangan materi ujian dan mental dilakukan agar kita[murid] bisa lancar saat menhadapi Ujian Nasional. Anak kelas 6 seolah seperti anak emas. Jam tambahan pun juga kita dapat, untuk mendapatkan bekal yang cukup. Padahal yang saya rasakan saat itu adalah bosan tingkat tower. Bagaimana tidak, saya masuk seklolah pukul tujuh pagi, kemudian pulang pukul setengah satu, istirahat setengah jam lalu mulai belajar lagi hingga pukul tiga sore. Dan budaya seperti ini saya dapat sampai SMA. Tiap Ujian Nasional digelar ritme yang hamper sama selalu saya dapatkan. Dan dari semua perjuangan hebat itu, di belahan dunia pendidikan nan jauh di atas sana Indonesia masih juga menempati posisi ngesot alias peringkat bawah.
            Kita dituntut mati-matian untuk menigkatkan NUN dengan berbagai upaya termasuk cara yang kurang terpuji. Sudah bukan rahasia jika kecurangan dalam ujian sudah jadi budaya yang mungkin jika cara pandang kita terhadap pendidikan tidak dirubah akan terus terjadi. Saya rasa bukan hal baru contekan itu menjadi pemandangan yang lumrah saat ujian. Jika saya ditanya, kenapa saya mencontek, akan saya jawab karena kalau saya tidak nyontek saya takut tidak mencapai standar minimum dan tidak lulus ujian. Itulah cara pandang seorang siswa karena dintutut dan dihimpit oleh keadaan. Disisi lain kita dituntut untuk jujur dalam ujian tetapi di belahan dunia lain standar yang tinggi dan nama baik terus menjadi proiritas. Jika kita semua siswa benar-benar jujur ketika ujian, saya yakin menteri pendidikan akan pusing tujuh keliling saat hasil ujian keluar.
            Saya beberapa kali menghadapi Ujian Nasional dan anehnya saya lebih merasakan kompetisi yang lebih murni ketika ulangan harian biasa atau kuis dibanding Ujian Nasional. Sudah bukan hal baru jika di belakang banyak yang bilang kalau Ujian Nasional itu hanya formalitas, faktor penentu nilainya bukan lagi kecanggihan otak, tapi faktor keberuntungan. Lalu kenapa Ujian Nasional itu masih diselenggarakan?
            Perbedaan mencolok saya rasakan saat saya kuliah. Telah kita ketahui bersama di kurikulum perkuliahan tidak ada yang namanya Ujian Nasional. Adanya Ujian Akhir. Dengan sistem kredit semester, tentu sangat berbeda dengan kurikulum SD, SMP dan SMA. Jangan heran kalau mahasiswa tidak begitu lebay jika tidak lulus ujian atau nilainya ujiannya tidak bagus. Karena Ujian digelar step demi step sessuai mata kuliah. Tidak pukul rata seperti prosesi Ujian Sekolah. Nilai yang mahasiswa dapat pun dipertimbangkan dari berbagai sisi. Tidak dari sisi Ujian Akhir saja. Jadi setelah saya mahasiswa, ternyata pencapaian kelulusan itu tidak begitu menyeramkan. Sistem pendidikannya lebih mengerucut dan tentunya lebih membuat kita fokus. Sambil merenungkan hal-hal yang kurang jelas, saya sempat berpikir, betapa enaknya jika Sekolah disistem sks seperti ini sejak dulu? Betapa enaknya jika cara pikir kita terhadap sekolah itu dirubah. Kelulusan tak harus jadi tuntutan. Yang tidak lulus bukan berarti bodoh tetapi karena belum waktunya. Bukankah lulus karena curang itu adalah lulus yang dipaksakan? Semoga ini bisa jadi renungan.