Pertengahan
tahun 2011 lalu, Dewi Lestari atau lebih dikenal dengan nama pena Dee, kembali
menelurkan karyanya. Kali ini Dee memberi judul Madre pada karya fiksi ke tujuhnya. Bagi yang mengerti bahasa
Spanyol, mungkin akan tertipu dengan kumpulan cerita lima tahun terakhir Dee
ini. Secara etimologis Madre berasal
dari bahasa Spanyol yang artinya Ibu. Dengan judul tersebut, bisa diprediksi
akan banyak orang berasumsi bahwa cerita ini mengisahkan tentang sosok Ibu.
Namun, setelah mengetahui isinya, akan nampak tipuan Dee yang justru menjadi
surprise bagi para pembaca.
Ternyata,
Madre adalah nama dari biang roti.
Sebelum ada ragi instan, biang roti merupakan bahan pengembang untuk roti.
Uniknya lagi, Madre dalam cerita
tersebut bukanlah berperan sebagai latar atau pelengkap saja. Madre adalah tokoh. Tokoh utama setelah
Tansen. Mengapa demikian? Sebab Madre-lah
yang menjadi penyebab segala kejadian, peristiwa, hingga konflik dalam cerita
tersebut.
Novelet
yang dijadikan masterpis dalam buku kumpulan cerita Dee ini menceritakan
tentang perjalanan hidup seorang pemuda, bernama Tansen. Hidupnya berubah 180
derajat gara-gara se-toples microbacteri
yaitu Madre. Awalnya Tansen
dikejutkan dengan pemakaman seorang kakek tua bersuku Tionghoa yang harus
dihadirinya. Yang membuatnya meninggalkan pekerjaan serabutannya di Bali.
Kemudian, kejutan demi kejutan dia temui usai pemakaman kakek keturunan Tionghoa
di Jakarta itu.
Kejutan
pertama adalah, almarhum kakek tua tersebut mencantumkan Tansen sebagai ahli
warisnya. Lewat pengacara beliau, Tansen diberi amplop yang berisi wasiat.
Wasiat tersebut ternyata adalah sebuah kunci dan secarik kertas betuliskan
alamat suatu tempat. Lalu Tansen mendatangi alamat yang tercantum dalam wasiat
itu. Di sana ada seorang kakek tua pula, bernama Pak Hadi. Atas bantuan Pak
Hadi diketahulah bahwa ternyata kunci yang dipegang Tansen adalah kunci dari
sebuah kulkas.
Tansen
seketika itu bingung setengah mati. Kebingungannya makin menjadi saat kulkas
tersebut dibuka. Di dalamnya ada satu toples besar berisi cairan putih keruh,
dia adalah Madre. Meskipun hanya
biang, Madre diperlakukan sangat
manusiawi. Madre memang hidup. Bahkan
lebih lama dari yang membuatnya, yaitu Laskhmi, nenek Tansen.
Madre
berusia 70 tahun, dia lahir di tahun 1941 lewat tangan nenek Tansen. Dan orang
yang dimakamkan itu, yakni Pak Tan, tidak lain dan tidak bukan adalah kakek
dari Tansen. Parahnya, selama hidup Tansen tidak pernah tahu akan hal tersebut.
Madre kemudian memaksa Tansen untuk
menjadi seorang pembisnis roti. Toko roti peninggalan kakeknya telah mati suri.
Sang kakek yang bernama Tan, percaya bahwa Tansen kelak bisa menghidupkan
kembali usahanya.
Tansen
tentu menolak keras warisan itu. Dia bahkan sempat berpikir untuk menjual Madre. Namun, ketika 5 orang Bakker tua
datang ke toko dan melakukan upacara perpisahan untuk Madre, Tansen berubah pikiran. Sejak hari itu kehadiran Madre begitu membawa arti bagi Tansen. Madre mempertemukannya dengan silsilah hidupnya,
keluarga barunya, pekerjaannya, dan cintanya, yaitu Mei, orang yang berniat
membeli Madre dari Tansen.
Senada
dengan Tansen yang menilai Madre sedemikian
berarti, saya juga berpendapat bahwa Madre
begitu luar biasa. Madre lebih dari
sekedar biang. Madre lebih dari
sekedar cerita. Madre adalah seorang
tokoh sekaligus akar dari kisah yang disajikan Dee. Seperti biasa, Dee selalu
menembak tema yang ringan bahkan sepele, kemudian memadupadankan tema itu
dengan berbagai sub tema. Namun, ringgannya tema yang dibidik bukan berarti
menjadikan cerita ini tanpa isi. Justru tema kecil itu mampu menghasilkan isi
yang kaya dan kompleks. Warna-warna yang timbul dari cerita tersebut sangat
beragam. Mulai budaya, ilmu pengetahuan alam, ilmu bisnis, ilmu tataboga, nilai
sosial, gaya hidup, dan cinta. Semua aspek tersebut diracik dan dikemas secara menarik.
Dengan konflik-konflik yang alami. Tanpa ada kesan memaksa.
Warna
budaya yang ditampilka melalui Madre adalah
budaya Tionghoa dan India. Lewat kisah tersebut, Dee memberi pengetahuan
mengenai dua kebudayaan yang sama kuat. Bahkan dia mencoba menyatukan keduanya
melalui pernikahan Tan Sie Gie dan Lakshmi, si kakek dan nenek Tansen. Dalam
budaya Cina dan India jaman dulu, menikahi orang yang bukan rasnya memang dilarang
keras. Bagi mereka yang berani melakukannya, maka akan mendapat kutukan. Ketika
menikahi Lakshmi, Tan Sie Gie diusir dari rumah dan tidak diakui lagi menjadi
bagian keluarganya, demikian dengan Lakshmi. Lakshmi kemudian melahirkan Ibu
Tansen, Kartika. Lalu dia meninggal. Kartika juga meninggal beberapa waktu
setelah melahirkan Tansen. Hal itu tentu menyiratkan keampuhan tradisi pada
masa lampau. Melanggar tradisi memang selalu berbuah akibat. Entah itu disadari
atau tidak.
Di
luar itu saya menemukan alasan lain mengapa Dee memilih latar belakang India
sebagai ras nenek Tansen. Bukan Belanda, Paris, Swiss atau negara Eropa lain
yang biasa dipandang masyarakat lebih identik dengan antah berantah dunia roti.
Karena sebetulnya, roti yang berkembang di Indonesia itu pertama kali dibawa
oleh orang India. Bukan Belanda ataupun yang lainnya. Bangsa India-lah yang
memperkenalkan roti pada bangsa Indonesia, ketika berdagang.
Kemudian
untuk menyampaikan kentalnya warna bisnis dalam cerita tersebut, Dee menampilkan
ras Tionghoa. Sebuah bidikan yang tepat. Telah banyak diketahui bahwa
orang-orang bisnis di Indonesia mayoritas adalah orang Cina. Melalui toko roti
Tan De Bakker, Dee mencoba menghadirkan dua ras dengan latar belakang budaya
yang kontras dalam satu kesatuan. Toko yang diolah oleh Tan Sin Gie, orang Cina
dan rotinya dibuat oleh Lakshmi, orang India.
Warna
dunia bisnis makin terasa ketika tokoh Mei dimunculkan. Mei adalah pengelola
toko roti modern, Fairy Bread. Atas
bantuan Mei-lah Tan de Bakker berubah
nama menjadi Tansen de Bakker. Tan de Bakker yang mati suri dihidupkan
kembali oleh Tansen, Pak Hadi, Mei dan pengabdi Tan de Bakker lainnya. Dalam upaya penghidupan itulah tersirat
aroma bisnis yang menawan. Dari permodalan hingga managemen bisnis, tertuang
dalam cerita.
Berhubung Madre sendiri adalah sebuah mikroba, khayal rasanya jika sentuhan
ilmu pengetahuan tidak diikutsertakan. Membaca Madre memberi saya stimulus untuk mengingat-ingat pelajaran kelas 1
SMA, ketika ditugasi guru untuk membuat nata
de coco. Meski berbeda ternyata pada prinsipnya sama. Membuat biang juga
butuh kesabaran dalam ujicoba mengombinasikan fermentasi bahan untuk
menghasilkan biang yang berkualitas. Biang dapat bertahan berpuluh tahun bahkan
ratusan tahun jika dirawat dengan benar. Seperti mahluk hidup lainnya, Madre diberi makan. Dia pun juga punya instink. Karena dia juga hidup. Jika
Hachiko si anjing setia dari Jepang memilih Isabura Ueno sebagai tuannya, maka Madre juga demikian. Dia memilih Tansen
sebagai tuannya. Untuk itulah Madre
sangat dimanusiakan oleh orang-orang Tan
de Bakker yaitu Pak Hadi, Bu Sum, Bu Dedeh, Pak Joko, dan Bu Cory.
Selain
warna-warna di atas, tak lengkap rasanya jika sebuah cerita tidak dihiasi
dengan sebuah kisah cinta. Karena itulah Dee memunculkan Mei sebagai pemikat
hati Tansen. Tansen mulai jatuh cinta pada Mei ketika Mei menyadarkannya bahwa Madre sangat berarti. Selain Pak Hadi, Mei adalah orang yang
menahan Tansen untuk tetap menjalani hidup yang tak disukainya di Jakarta.
Melalui hal-hal yang dialaminya bersama Mei, ternyata mambuat hati Tansen
luluh. Terlebih toko roti mereka bekerjasama. Dukungan cinta Mei membuat Tansen
bertekad untuk meneruskan bisnis almarhum kakeknya. Tansen bahkan mencoba
membuat biang baru dari fermentasi nanas, yang dinamai Padre.
Jika
ditarik kesimpulan, warna-warna di atas merupakan penggambaran latar yang
muncul karena keberadaan Madre.
Membaca kisah ini memberi banyak pelajaran terhadap diri saya. Mulai budaya
hingga ilmu pengetahuan bahkan juga cinta. Dee menyampaikan semua itu dengan
bahasa yang ringan. Dengan berbagai surprise
lewat tokoh dan konflik yang mereka alami. Madre
begitu hidup dan penuh keberagaman nilai didalamnya.